Minggu, 05 Mei 2013

Galuh_Cerpen Sosial


GALUH
Oleh Nuni Wahyuni
            Dia berjalan di antara kerlap-kerlip lampu kota. Bising hiburan yang penuh omong kosong dia lewati begitu saja. Dia terus berjalan melewati debu-debu yang diterbangkan oleh kakinya yang telanjang. Kakinya nampak tak merasa lelah untuk terus berjalan. Dilewatinya sebuah gudang tua. Gudang gelap dengan pintu yang terbuka. Gudang yang pernah terbakar dan kini ditinggalkan oleh pemiliknya. Lama dia melihatnya. Dia menatap gudang seperti patung pengemis yang meratapi nasib perutnya. Dia terus terbuai dalam keasyikkan tatapan hampa. Kosong. Tak ada gairah dimatanya
Dia menggunakan baju kaftan lengan panjang berwarna biru. Terdapat robekkan pada bagian lengan kanan bajunya. Rambutnya hitam panjang namun kusut terurai tak terurus. Mata elangnya terhalang oleh guratan hitam, pertanda hidupnya didera duka. Bibir tipisnya pucat. Ada bekas jahitan di pipi kirinya. Kaki rampingnya dipenuhi dengan kotoran-kotoran jalan. Debu tebal merekat di antara jari-jarinya.
Kembali ia langkahkan kakinya. Menyusuri jalanan yang dihiasi gedung tinggi namun diselipi gubuk tua. Perbedaan kelas terlihat begitu nyata. Kendaraan perusak udara memadati jalanan yang kian tak berdaya. Menyebabkan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Kota yang terlalu sibuk dengan urusan-urusan materialistis sehingga manusia menjadi semakin tak peka.
Di antara mata-mata sinis dan jijik yang terus melihatnya. Di antara bibir dan lidah yang bekerjasama dalam membicarakannya. Dia duduk dibawah bangku taman berwarna hijau tua yang terletak tepat di antara pohon beringin dan mahoni. Kedua pohon itu adalah saksi bisu yang tetap mengerti.
Dia menatap ke bangku taman. Matanya menatap dalam. Seakan seseorang sedang duduk di atasnya. Mata elangnya cemerlang. Menyorotkan kebahagiaan.  Tersenyum lalu berbicara kemudian tertawa. Tiba-tiba matanya kosong. Lalu bergumam. Hampa. Dia mulai merajuk. Marah-marah. Memaki. Kemudian memeluk kaki kursi. Menangis. Menjerit lalu diam. Dia kembali bergumam. Terus berulang. Menjadi siklus yang terus berkelanjutan.
Seorang wanita membuat keributan dibawah bangku kota yang terus ia maki. Tawa, jeritan, serta tangisannya menyuguhkan pemandangan miris di malam hari. Ada yang pergi tak peduli, seakan hal itu pemandangan biasa di tengah kota. Ada yang jijik dan  sinis karena bagi mereka wanita itu tak lebih dari orang yang tak mampu bertarung dengan zaman. Ada yang simpati atau pun kasihan yang biasanya di rasakan oleh orang-orang semak belukar. Ada yang tertawa seakan wanita itu merupakan lelucon ditaman kota. Ada yang sekedar geleng kepala tak ingin pengalaman tragis itu menimpanya. Tapi di sini, aku terdiam mengawasinya. Mataku panas. Pipi dan hidungku basah. Air mataku sudah tak bisa ku kendalikan.
***
“Galuh, aku mencintaimu. aku ingin hidup bersamamu. Di tempat ini. Di antara beringin dan mahoni aku ingin melamarmu untuk menjadi istriku. Bawalah cincin ini dan kemudian aku akan membawa keluargaku menemui keluargamu.”
Pipiku memanas. Butiran bening mengaliri pipi. Menjadi ruas yang terus bercabang. Mengalir semakin deras. Membasahi pipiku yang putih. Tersungging senyum di bibir ku yang tipis. Lesung pipit dipipi ku  kian menambah pesona bibir merah yang dihiasi lipstick  para ratu Inggris. Aku terbuai dalam aroma kebahagiaan. Mengajakku menari di antara rimbun pohon-pohon taman. Di sini, di bangku ini, di antara beringin dan mahoni. Bang Karman datang. Membawa cincin pengikat. Aku mendengar lagu cinta yang terus dimainkan.
            Lamaran dilangsungkan. Sebulan kemudian berlangsung pesta pernikahan. Aku dan bang Karman hidup menjadi dua pribadi yang dipersatukan. Empat setengah bulan berjalan. Aku hidup sebagai pengantin baru kasmaran. Bahagia mengaliri setiap sendi. Mengajakku bernyanyi tanpa henti. Menyanyikan lagu-lagu para penyair sepanjang zaman. Mata elangku kian cemerlang, ketika ku tahu ku hamil satu bulan.
            Waktu terus berjalan. Bersiap menghadapkanku ke sebuah tikungan. Tikungan curam yang tak lain adalah jurang kehancuran. Mempunyai keturunan tentu idaman setiap orang. Sampai saat ini, aku dan bang karman masih larut dalam aroma surgawi. Merasakan kebahagiaan dalam setiap detak nadi. Menantikan malaikat kecil pelengkap kebahagiaan.
            “Braaaaakkkk...”
            “Argghhhhh” rasanya ngilu di seluruh badan. Aroma anyir kuat menusuk hidung. Dari pipiku mengalir darah merah segar. Menetes hangat keatas punggung lenganku. Ku lihat bang Karman di sampingku. Di kursi kemudi dia terdiam sepi. Aku memandangnya dengan cemas. Tak ada kata dari bibirnya terucap. Ku berusaha memegang bahu sebelah kirinya. Ku gerakkan tanganku sekuat tenaga.  Aku tak kuasa.
Perutku sakit, tegang dan terasa kejang. “Jangan anakku.” Gumamku lemah. Kuraba perutku dalam tak berdaya. Terasa cairan hangat mengalir di paha. Semakin deras dan bercabang menjadi ruas-ruas. Tenagaku kini mulai tak tersisa. Kurasa diriku mulai tak berdaya. Dayaku sia-sia. Aku mulai melemah lalu hening.
“Jangan bang. Ku mohon, jangan pergi. Jangan biarkan aku sendiri. Ku rela kau mendua. Tapi jangan biarkan aku sendiri.” Aku memelas. Memohon. Mata elang andalanku tak mampu mencairkan hatinya yang telah membatu.
“Galuh, aku ingin keturunan. Sebaiknya lepaskan aku.” Ucapnya dingin.
“Aku tidak rela bang. Kumohon, aku telah kehilangan calon bayi dan rahimku, lalu apa aku juga harus kehilanganmu?”
Dia tak peduli. Tatapannya tetap dingin. Tak ada lagi cinta yang tersisa. Yang ada hanyalah sisa omong kosong janji setia. Dia terus berjalan. Menghempaskan tanganku dan menorehkan luka berkelanjutan. Aku terhenyak ke dasar jurang. Hidup dalam kepahitan. Dihari-hari tanpa harapan.
Ibu datang, menghiburku yang terkungkung dalam kesakitan. Dengan kesabaran, dia mendampingiku siang dan malam. Menceritakan kisah-kisah lama tentang perjuangan dan harapan.
Di suatu malam, aku terbangun dalam hati yang kacau. Merindukan sesuatu yang menyakitkan. Di hadapanku, ku lihat wajah bang Karman. Senyumannya itu sangat ku kenal. Dia mengajakku berbincang. Kesana kemari indah seperti ketika kami pacaran. Tertawa. Menertawakan hal-hal sepele yang tidak lucu. Dia kembali tersenyum. Namun kali ini bukanlah senyum yang kuharapkan. Senyum ini adalah senyum sinis melecehkan. Dia menatapku jijik dan dingin. Mata ku memerah. Darah ku bergejolak. Panas hingga ke ubun-ubun. Dadaku sesak. Ku berontak dan memaki-maki. Lalu dia ambil barang barang. Meninggalkanku bak kotoran. Aku bersujud dan menangis. Memeluk kakinya dan memintanya tetap tinggal. Tapi dia terus berjalan. Lalu ku kembali berada di taman. Menikmati indah masa pacaran. Semuanya terus berulang.
***
Terus berulang-ulang. Kini dia mulai kelelahan. Dia bangkit lalu duduk diatas bangku taman. Berbicara dengan tatapan kosong. Sesekali tertawa, lalu memaki dengan keras. Kembali dia menangis dan menutup mukanya dengan kedua tangan.
Aku menatapnya dalam-dalam. Mata elangnya tak lagi cemerlang. Tangisan telah menutupi wajah manisnya. “apa yang bisa kulakukan?” pertanyaan itu bergemuruh dalam batinku. Aku hanya bisa menatapnya. Merangkulnya pun aku tak mampu. Sobekkan dilengan bajunya menandakan semakin aku mendekatinya, semakin brutal kelakuannya.
Tangisannya melemah. Jeritannya tak lagi memekik. Dia bicara tanpa suara. Dia mulai kehilangan stamina. dia meringkuk di bangku kota.
Orang-orang silih berganti melewatinya. Aku menatapnya dalam tak berdaya. Aku yang duduk diam hanya mengawasi tubuhnya di sebrang jalan.
Aku mulai tak sabar. Kulangkahkan kaki. Mendekati dia yang meringkuk di bangku taman. Rasanya ingin mendekati dia yang telah kehilangan dirinya. Dengan tatapan lembut, aku terus menatapnya. Ingin kembali kuceritakan kisah-kisah indah yang kulewati bersamanya.
Dia tetap meringkuk dibangku taman. Matanya tertutup rapat. Wajahnya tetaplah wajah yang kurindukan. Aku mendekatinya dalam diam.
Aku tiba didepannya. Tanpa sadar aku mengusap wajahnya. Wajah yang sangat menderita, tapi aku tak berdaya.
Tak terasa aku terlelap bersamanya. Diantara beringin dan mahoni. Disini, dibangku taman kota.
Suara klakson memekikkan telinga. Pagi telah tiba. Jalanan kembali telah dipadati mesin pembuat karbondioksida. Merayap menyusuri jalanan kota.
Kulihat bangku taman. Tak ada siapa-siapa. Aku kaget luar biasa. Kesana-kemari aku mencarinya. Melewati sisa-sisa trotoar kota.
“Anakku!!!” jeritku dalam tak berdaya tatkala melihatnya tergantung digedung tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar