GALUH
Oleh Nuni Wahyuni
Oleh Nuni Wahyuni
Dia
berjalan di antara kerlap-kerlip lampu kota. Bising hiburan yang penuh omong
kosong dia lewati begitu saja. Dia terus berjalan melewati debu-debu yang
diterbangkan oleh kakinya yang telanjang. Kakinya nampak tak merasa lelah untuk
terus berjalan. Dilewatinya sebuah gudang tua. Gudang gelap dengan pintu yang
terbuka. Gudang yang pernah terbakar dan kini ditinggalkan oleh pemiliknya.
Lama dia melihatnya. Dia menatap gudang seperti patung pengemis yang meratapi
nasib perutnya. Dia terus terbuai dalam keasyikkan tatapan hampa. Kosong. Tak
ada gairah dimatanya
Dia menggunakan baju kaftan lengan
panjang berwarna biru. Terdapat robekkan pada bagian lengan kanan bajunya.
Rambutnya hitam panjang namun kusut terurai tak terurus. Mata elangnya terhalang
oleh guratan hitam, pertanda hidupnya didera duka. Bibir tipisnya pucat. Ada bekas
jahitan di pipi kirinya. Kaki rampingnya dipenuhi dengan kotoran-kotoran jalan.
Debu tebal merekat di antara jari-jarinya.
Kembali ia langkahkan kakinya. Menyusuri
jalanan yang dihiasi gedung tinggi namun diselipi gubuk tua. Perbedaan kelas
terlihat begitu nyata. Kendaraan perusak udara memadati jalanan yang kian tak
berdaya. Menyebabkan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Kota yang terlalu
sibuk dengan urusan-urusan materialistis sehingga manusia menjadi semakin tak
peka.
Di antara mata-mata sinis dan jijik
yang terus melihatnya. Di antara bibir dan lidah yang bekerjasama dalam
membicarakannya. Dia duduk dibawah bangku taman berwarna hijau tua yang
terletak tepat di antara pohon beringin dan mahoni. Kedua pohon itu adalah
saksi bisu yang tetap mengerti.
Dia menatap ke bangku taman.
Matanya menatap dalam. Seakan seseorang sedang duduk di atasnya. Mata elangnya
cemerlang. Menyorotkan kebahagiaan. Tersenyum lalu berbicara kemudian tertawa.
Tiba-tiba matanya kosong. Lalu bergumam. Hampa. Dia mulai merajuk. Marah-marah.
Memaki. Kemudian memeluk kaki kursi. Menangis. Menjerit lalu diam. Dia kembali
bergumam. Terus berulang. Menjadi siklus yang terus berkelanjutan.
Seorang wanita membuat keributan
dibawah bangku kota yang terus ia maki. Tawa, jeritan, serta tangisannya
menyuguhkan pemandangan miris di malam hari. Ada yang pergi tak peduli, seakan
hal itu pemandangan biasa di tengah kota. Ada yang jijik dan sinis karena bagi mereka wanita itu tak lebih
dari orang yang tak mampu bertarung dengan zaman. Ada yang simpati atau pun
kasihan yang biasanya di rasakan oleh orang-orang semak belukar. Ada yang
tertawa seakan wanita itu merupakan lelucon ditaman kota. Ada yang sekedar
geleng kepala tak ingin pengalaman tragis itu menimpanya. Tapi di sini, aku
terdiam mengawasinya. Mataku panas. Pipi dan hidungku basah. Air mataku sudah
tak bisa ku kendalikan.
***
“Galuh, aku mencintaimu. aku ingin
hidup bersamamu. Di tempat ini. Di antara beringin dan mahoni aku ingin
melamarmu untuk menjadi istriku. Bawalah cincin ini dan kemudian aku akan
membawa keluargaku menemui keluargamu.”
Pipiku memanas. Butiran bening
mengaliri pipi. Menjadi ruas yang terus bercabang. Mengalir semakin deras. Membasahi
pipiku yang putih. Tersungging senyum di bibir ku yang tipis. Lesung pipit
dipipi ku kian menambah pesona bibir
merah yang dihiasi lipstick para ratu
Inggris. Aku terbuai dalam aroma kebahagiaan. Mengajakku menari di antara
rimbun pohon-pohon taman. Di sini, di bangku ini, di antara beringin dan mahoni.
Bang Karman datang. Membawa cincin pengikat. Aku mendengar lagu cinta yang
terus dimainkan.
Lamaran
dilangsungkan. Sebulan kemudian berlangsung pesta pernikahan. Aku dan bang
Karman hidup menjadi dua pribadi yang dipersatukan. Empat setengah bulan
berjalan. Aku hidup sebagai pengantin baru kasmaran. Bahagia mengaliri setiap
sendi. Mengajakku bernyanyi tanpa henti. Menyanyikan lagu-lagu para penyair
sepanjang zaman. Mata elangku kian cemerlang, ketika ku tahu ku hamil satu
bulan.
Waktu
terus berjalan. Bersiap menghadapkanku ke sebuah tikungan. Tikungan curam yang
tak lain adalah jurang kehancuran. Mempunyai keturunan tentu idaman setiap
orang. Sampai saat ini, aku dan bang karman masih larut dalam aroma surgawi.
Merasakan kebahagiaan dalam setiap detak nadi. Menantikan malaikat kecil
pelengkap kebahagiaan.
“Braaaaakkkk...”
“Argghhhhh”
rasanya ngilu di seluruh badan. Aroma anyir kuat menusuk hidung. Dari pipiku
mengalir darah merah segar. Menetes hangat keatas punggung lenganku. Ku lihat
bang Karman di sampingku. Di kursi kemudi dia terdiam sepi. Aku memandangnya
dengan cemas. Tak ada kata dari bibirnya terucap. Ku berusaha memegang bahu
sebelah kirinya. Ku gerakkan tanganku sekuat tenaga. Aku tak kuasa.
Perutku sakit, tegang dan terasa
kejang. “Jangan anakku.” Gumamku lemah. Kuraba perutku dalam tak berdaya. Terasa
cairan hangat mengalir di paha. Semakin deras dan bercabang menjadi ruas-ruas. Tenagaku
kini mulai tak tersisa. Kurasa diriku mulai tak berdaya. Dayaku sia-sia. Aku
mulai melemah lalu hening.
“Jangan bang. Ku mohon, jangan
pergi. Jangan biarkan aku sendiri. Ku rela kau mendua. Tapi jangan biarkan aku
sendiri.” Aku memelas. Memohon. Mata elang andalanku tak mampu mencairkan
hatinya yang telah membatu.
“Galuh, aku ingin keturunan.
Sebaiknya lepaskan aku.” Ucapnya dingin.
“Aku tidak rela bang. Kumohon, aku
telah kehilangan calon bayi dan rahimku, lalu apa aku juga harus kehilanganmu?”
Dia tak peduli. Tatapannya tetap
dingin. Tak ada lagi cinta yang tersisa. Yang ada hanyalah sisa omong kosong
janji setia. Dia terus berjalan. Menghempaskan tanganku dan menorehkan luka
berkelanjutan. Aku terhenyak ke dasar jurang. Hidup dalam kepahitan.
Dihari-hari tanpa harapan.
Ibu datang, menghiburku yang
terkungkung dalam kesakitan. Dengan kesabaran, dia mendampingiku siang dan
malam. Menceritakan kisah-kisah lama tentang perjuangan dan harapan.
Di suatu malam, aku terbangun dalam
hati yang kacau. Merindukan sesuatu yang menyakitkan. Di hadapanku, ku lihat
wajah bang Karman. Senyumannya itu sangat ku kenal. Dia mengajakku berbincang.
Kesana kemari indah seperti ketika kami pacaran. Tertawa. Menertawakan hal-hal
sepele yang tidak lucu. Dia kembali tersenyum. Namun kali ini bukanlah senyum
yang kuharapkan. Senyum ini adalah senyum sinis melecehkan. Dia menatapku jijik
dan dingin. Mata ku memerah. Darah ku bergejolak. Panas hingga ke ubun-ubun.
Dadaku sesak. Ku berontak dan memaki-maki. Lalu dia ambil barang barang.
Meninggalkanku bak kotoran. Aku bersujud dan menangis. Memeluk kakinya dan
memintanya tetap tinggal. Tapi dia terus berjalan. Lalu ku kembali berada di
taman. Menikmati indah masa pacaran. Semuanya terus berulang.
***
Terus berulang-ulang. Kini dia
mulai kelelahan. Dia bangkit lalu duduk diatas bangku taman. Berbicara dengan
tatapan kosong. Sesekali tertawa, lalu memaki dengan keras. Kembali dia
menangis dan menutup mukanya dengan kedua tangan.
Aku menatapnya dalam-dalam. Mata
elangnya tak lagi cemerlang. Tangisan telah menutupi wajah manisnya. “apa yang
bisa kulakukan?” pertanyaan itu bergemuruh dalam batinku. Aku hanya bisa
menatapnya. Merangkulnya pun aku tak mampu. Sobekkan dilengan bajunya
menandakan semakin aku mendekatinya, semakin brutal kelakuannya.
Tangisannya melemah. Jeritannya tak
lagi memekik. Dia bicara tanpa suara. Dia mulai kehilangan stamina. dia
meringkuk di bangku kota.
Orang-orang silih berganti
melewatinya. Aku menatapnya dalam tak berdaya. Aku yang duduk diam hanya mengawasi
tubuhnya di sebrang jalan.
Aku mulai tak sabar. Kulangkahkan
kaki. Mendekati dia yang meringkuk di bangku taman. Rasanya ingin mendekati dia
yang telah kehilangan dirinya. Dengan tatapan lembut, aku terus menatapnya.
Ingin kembali kuceritakan kisah-kisah indah yang kulewati bersamanya.
Dia tetap meringkuk dibangku taman.
Matanya tertutup rapat. Wajahnya tetaplah wajah yang kurindukan. Aku
mendekatinya dalam diam.
Aku tiba didepannya. Tanpa sadar aku
mengusap wajahnya. Wajah yang sangat menderita, tapi aku tak berdaya.
Tak terasa aku terlelap bersamanya.
Diantara beringin dan mahoni. Disini, dibangku taman kota.
Suara klakson memekikkan telinga.
Pagi telah tiba. Jalanan kembali telah dipadati mesin pembuat karbondioksida.
Merayap menyusuri jalanan kota.
Kulihat bangku taman. Tak ada siapa-siapa.
Aku kaget luar biasa. Kesana-kemari aku mencarinya. Melewati sisa-sisa trotoar
kota.
“Anakku!!!” jeritku dalam tak
berdaya tatkala melihatnya tergantung digedung tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar