KEMBALI
Oleh: Nuni Wahyuni, Pendidikan Sosiologi, FPIS, UPI
Aku duduk di atas kursi kayu di
tengah ruangan yang remang. Kakiku yang telanjang menapaki lantai keramik yang
dingin. Tanganku diborgol di belakang sandaran kursi. Wajahku yang disoroti
oleh sebuah lampu terasa panas karena menahan amarah. Mataku menatap lesu
kearah dua lelaki berseragam biru tua yang terus memberondongku dengan
pertanyaan yang justru mengintimidasi. Grundnorm yang mereka miliki tak
berlaku bagi orang yang dianggap sebagai teroris meski itu masih belum
terbukti.
“Hei Indonesian, akui saja
bahwa kamu itu teroris!” Salah seorang pria berbicara sambil mendekatkan
wajahnya ke depan wajahku. Bau alkohol begitu menyengat ketika mulut pria itu
berada tepat di depan hidungku.
“Sungguh, saya bukan teroris Sir.”
Jawabku sambil berdzikir di dalam hati.
“Kau bernama Muhammad Fadlan,
seorang muslim, asalmu dari Indonesia, saat ini kau tercatat sebagai mahasiswa
di salah satu universitas di Timur Tengah. Di bandara ditemukan sebuah tas
hitam atas nama dirimu yang diketahui berisi bahan-bahan untuk membuat bom.
Lalu perlu bukti apa lagi? Kau sudah tertangkap basah, kau masih mau mengelak
lagi?”
“Tapi saya benar-benar bukan
seorang teroris.” Jawabku tetap kukuh
“euggggghhhhh” Sebuah pukulan
mendarat di atas perutku.
“Hey! Kau itu benar-benar keras
kepala. Kau hanya tinggal akui saja bahwa kau itu seorang teroris dan tanda
tangani surat pengakuannya maka urusan akan jadi mudah.”
“Apa saya harus mengakui sesuatu
yang tak saya lakukan?”
“Apa? Sesuatu yang tak kau lakukan?
Kau ini sudah tertangkap basah masih mengelak. Apakah aku harus memukulmu lagi
baru kau mau mengaku?” Tangan pria itu kembali siap mendarat di atas perutku.
Aku sudah bersiap menerima pukulan darinya tapi pria di sebelahnya menghentikan
tangan temannya. Matanya yang tajam menatap lekat wajahku yang penuh dengan
keringat.
“Tahan tanganmu Yurevich! Dia warga
asing, kita tak bisa menyiksanya begitu saja. Kembalikan dia ke penjara. Sudah
cukup kita mengintrogasinya. Setelah semua dokumen lengkap, kasusnya akan
dilimpahkan ke meja hijau. Mungkin saat ini dia tak mau mengakuinya, tapi
kebenaran akan terbukti di pengadilan.”
***
Aku merasa lelah dengan semuanya.
Di penjara ini waktuku begitu dibatasi. Aku melakukan pekerjaan-pekerjaan di
dalam penjara dan bergaul dengan beberapa narapidana. Pekerjaan yang begitu
menyita waktu membuat seorang muslim sepertiku harus berurusan dengan sipir
penjara setiap hari karena keinginanku untuk tetap menjalankan shalat lima
waktu. Beberapa kali aku harus menerima sanksi karena aku dianggap telah
menyalahi aturan penjara terutama dalam hal waktu.
Di penjara ini aku bertemu dengan
muslim lainnya. Dia bernama Farhat, warga negara Lebanon yang bermigrasi ke
negeri para mafia ini. Awalnya dia bekerja sebagai penjual ikan di salah satu
pasar kecil di sudut kota Moskwa, tapi dia harus berurusan dengan hukum dan di
penjara karena telah membunuh warga Rusia yang hendak mencuri uang hasil penjualan
ikannya. Meski berniat membela diri, tapi bagi warga asing seperti kami
keadilan dan hak asasi bukanlah hal yang bisa di perjuangkan dengan mudah di
negeri yang mengaku komunis ini.
“Ayo kita shalat! waktu shalat
dzuhur telah tiba.” Aku mengajak Farhat yang masih memegang godam dan memecah
batu dengan keringat yang terus mengucur.
“Kau saja. Aku sudah lama tidak
shalat. Sejak memasuki penjara ini, aku tahu bahwa shalat tak bisa mengeluarkanku
dari penjara. Bahkan karena shalat aku akan menerima sanksi pekerjaan ganda
setiap hari sepertimu.” Jawabnya sambil terus memecah batu.
“Jadi, selama ini kau meninggalkan
Tuhanmu? Sayang sekali, padahal aku yakin kau sangat meridukan-Nya.”
“Hei Indonesian, Urusi saja
urusanmu sendiri. Jika kau memang ingin shalat, ya shalat saja. Tak perlu kau
berceramah di sini.” Ucapnya sambil menatapku tajam. Tatapannya mengisyaratkan
bahwa dia merasa tersinggung dengan ucapanku tadi. Gagang godam di genggam
dengan kuat oleh kedua tangannya yang kasar.
Aku pergi meninggalkan Farhat yang
kembali memecah batu. Aku menghampiri sipir penjara. Seakan sudah mengerti, dia
menatapku dan menganggukkan kepalanya. Aku tahu, dengan komitmenku untuk tetap
menjaga shalat lima waktu, aku harus bekerja lebih lama di banding dengan
narapidana lainnya. Yah, itulah konsekuensi yang harus aku terima.
“347” Seorang sipir penjara
mendatangi sel dan memanggil nomor tahananku.
“Yes sir?” Tanyaku sambil
mendekati jeruji.
“cepat keluar. orang dari kedutaan
Indonesia menjengukmu.” Ucapnya sambil membuka pintu sel.
Aku melangkahkan kaki melewati
lorong-lorong di antara jeruji. Ini kali pertama sejak aku berada di tahanan
aku mendapat kunjungan. Langkah kakiku terhenti ketika aku berada disebuah
ruangan dengan beberapa kursi dan meja yang berkelompok. Di salah satu meja aku
melihat sosok yang ku kenal. Herman. Dia berdiri dan tersenyum ramah
menyambutku yang masih berdiri di ambang pintu.
“Apa kabar kawan?” tanyanya sambil
menyalamiku dan mengajakku untuk duduk. Di samping kirinya duduk seorang pria
asing dan seorang yang dari kulit dan bentuk wajahnya ku duga orang Indonesia.
“Kabar baik. Bagaimana kau ada di
sini? Bukankah kau telah kembali ke Mesir?” Tanyaku setengah tak percaya.
“Ya. Aku kembali ke sini setelah
mendengar kabar penangkapanmu seminggu yang lalu. Perlu beberapa hari untuk
mendapatkan izin bertemu denganmu.”
“Nampaknya sekarang aku menjadi
orang penting. Untuk bertemu denganku saja kau harus menunggu beberapa hari.”
Kelakarku sambil tertawa.
“Fadlan, kau masih bisa tertawa?
Tahukah kau, betapa serius kasus yang kau hadapi. Di Indonesia kau menjadi head
line di semua berita.”
“Aku tahu. Tuduhan teroris begitu
memberatkanku. Aku harus tertahan di negeri ini dan tidak bisa melanjutkan
tesisku. Aku juga tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi. Padahal selama empat
bulan aku di sini aku tak pernah melakukan hal lain selain mengerjakan
penelitian.”
“oh ya, berbicara mengenai tesismu,
tolong maafkan aku. Aku tak bisa memperjuangkannya untukmu. Ini surat dari
Universitas. Karena kasus ini, komite disiplin telah mencabut status
kemahasiswaanmu.” Ucapnya getir sambil mengeluarkan surat yang dibungkus oleh
amplop berwarna cokelat.
Tanganku bergetar ketika membuka
amplop coklat di tanganku. Air mataku terlanjur keluar sebelum mataku sempat
mebaca setiap kata yang tertera di atas kertas itu. Tangisku pecah setelah aku
selesai membacanya.
“Bersabarlah saudaraku, yang
terpenting saat ini adalah bagaimana caranya kau keluar dari kasus ini. Aku
tahu kau sama sekali tak bersalah. Tiga bulan aku menemanimu di sini. Aku
sangat mengetahui aktivitasmu selama ini. Aku siap menjadi saksi. Di sebelah
kiriku adalah Ladonkin, dia pengacara Rusia yang telah aku tunjuk sebagai
pengacaramu dan di sebelahnya adalah Pak Anwar, pengacara dari Indonesia yang
ditunjuk oleh pihak kedutaan. Mereka akan bekerjasama menangani kasusmu dan
membuktikan bahwa kau sama sekali tidak terlibat terorisme.” Ucapnya sambil
menenangkanku.
“Bagaimana keadaan keluargaku?
Pasti mereka khawatir dengan pemberitaan di media masa tentang penangkapanku.”
Seakan tak peduli, aku meletakkan kembali surat Drop Out yang ada di
tanganku ke atas meja.
“Kemarin ayahmu menelpon. Aku telah
menjelaskan apa yang terjadi. Aku yakin dia mempercayaimu. Sekarang yang harus
kau lakukan adalah berusaha menjaga dirimu sebaik mungkin di penjara ini.
Jangan sampai membuat kesalahan dan teruslah berdo’a.”
“Maaf nak Fadlan, apakah pihak
kepolisian telah mengintrogasimu?” tanya Pak Anwar yang duduk paling sudut.
“Iya, sudah pak.”
“Apakah mereka meminta kau mengaku
bahwa kau seorang teroris?”
“Ya, mereka memintaku
menandatangani surat pengakuan bahwa aku adalah seorang teroris. Tapi aku tidak
menandatanganinya. Aku tahu jika aku menandatanganinya itu akan memberatkan
posisiku.”
“Bagus. Aku yakin kau pasti tahu
apa yang harus kau lakukan. Sekarang yang paling penting adalah kita harus
mengumpulkan saksi-saksi dan bukti-bukti untuk membuktikan bahwa kau tidak
terlibat dengan jaringan terorisme.”
“Mungkin selain Herman, Prof.
Tomski dan Dr. Yelena juga bisa dijadikan saksi. Selama disini aku sering
menghabiskan waktu untuk penelitian dengan mereka. Gerrard dan Jodi juga
mungkin bisa menjadi saksi. Mereka tinggal dengaku di flat yang kami
sewa bersama ” Jawabku sambil berusaha tersenyum.
“Baiklah nak. Aku dan Ladonkin sebagai
pengacaramu akan berusaha membebaskanmu. Kami akan mengunjungimu minggu depan.
Sepertinya dua minggu lagi kasusmu akan segera dilimpahkan ke pengadilan.
Bersiaplah dan jangan lupa berdo’a.” Ucapnya sambil berusaha menenangkanku
dengan sorot matanya yang optimis.
***
Sidang tadi pagi benar-benar
memberatkanku. Tas hitam yang menjadi barang bukti memang benar-benar ditemukan
atas namaku. Prof. Tomski dan Dr. Yelena sedang melakukan seminar internasional
di Amerika. Mereka belum bisa didatangkan sebagai saksi. Gerrard dan Jodi
tiba-tiba menghilang entah kemana. Hanya Herman yang menjadi saksi.
Kesaksiannya dianggap kurang kuat karena adanya hubungan pertemanan yang kuat
di antara kami. Aku benar-benar merasa tertekan dengan situasi yang ku hadapi.
Apa yang harus ku lakukan? Bayang-bayang vonis dua puluh tahun penjara dan hukuman
mati mengahantui setiap sel dalam syaraf otakku.
“Sudah aku katakan, shalat tak bisa
menolongmu.” Ucap Farhat sambil memakan kentang kecil di piringnya.
“Setidaknya shalat telah membuat
hatiku tenang.” Jawabku dengan menatap matanya yang mengeras.
“ha...ha.... Kau ini benar-benar
keras kepala. Aku tahu kasusmu itu lebih berat dari kasusku. Dari yang ku tahu
kau sudah tak bisa mengelak lagi. Kau harus bersiap untuk terus berada di sini.
Dan jika kau berada disini, apakah kau akan tetap bersikukuh dengan shalatmu
itu?” Dia menatapku dengan pandangan mengejek.
“Sampai kapanpun aku tak akan
pernah mau meninggalkan Tuhanku. Aku yakin ada hikmah tersendiri di balik semua
musibah yang menimpaku. Aku berjanji, akan tetap menajaga shalatku.”
“Dasar Stupid. Aku yakin
sebentar lagi kau akan lupa dengan janjimu itu.”
“Aku yakin suatu saat kau akan
kembali pada Tuhanmu.” Jawabku sambil tersenyum.
Farhat nampak marah dengan
kata-kataku. Tapi di sisi lain aku menemukan sebuah harapan di sorot lensa matanya
yang kehijauan. Matanya menunjukkan sebuah kerinduan yang dalam untuk kembali
bersujud kepada Allah seperti apa yang dulu senantiasa dilakukannya.
***
“Bagaimana ini? Kedua teman seflatmu
tidak bisa dihubungi. Mereka telah menghilang sejak kau ditangkap di bandara.”
Ucap Ladonkin.
“Adakah saksi lain?” Tanya Pak
Anwar yang duduk disampingnya.
“Tidak. Hanya mereka yang bisa kita
jadikan saksi. Bagaimana dengan Prof. Tomski dan Dr. Yelena, kapan mereka
kembali?” Tanyaku.
“Mereka baru bisa kembali bulan
depan. Padahal persidangan untuk pembelaan akan dilanjutkan minggu depan. Kalau
seperti ini, posisi kita akan sulit.” Ucap Ladonkin dengan nada pesimis.
“Tenanglah. Kita harus berusaha
semaksimal mungkin untuk membuktikan ketidakterlibatan Fadlan dengan terorisme.
Aku yakin masih ada jalan.” Ucap Pak Anwar.
Dalam tahajud kali ini, aku
bersujud cukup lama. Bayangan dua puluh tahun di penjara di negeri ini atau
menghadapi hukuman mati membuat fikiranku kacau. Hanya dengan bersujud lama,
memohon pertolongan dari-Nya aku baru bisa menemukan ketenangan.
“Ya Allah, Kau yang Maha Pengasih,
Kaulah Maha Penolong, hanya pada-Mu aku memohon pertolongan. Ini adalah ujian
yang kau berikan padaku. Besok aku harus menghadapi keputusan pengadilan. Tapi
aku tahu, keadilan ada di tangan-Mu. Seandainya aku tak menemukannya di dunia
maka pertemukanlah aku dengan keadilan-Mu di akhirat.” Desahku.
Pagi harinya aku kembali duduk di
kursi terdakwa. Ada satu kesempatan lagi pembelaan bagiku. Aku hanya bisa
pasrah menghadapi persidangan kali ini, mengingat sulitnya mendatangkan saksi
dan jelasnya barang bukti.
“Tenanglah.” Ucap Herman sesaat
setelah aku tiba di pengadilan.
Tiba disaat pembelaan. Aku pasrah.
“Saksi hanya Herman.” Desahku.
Tiba-tiba tanpa ku duga,
pengacaraku memanggil Prof. Tomski dan Dr. Yelena. Mereka memberi kesaksian
yang menguntungkan posisiku. Pengacara juga mengajukan barang bukti yang
menunjukkan aku tidak memiliki hubungan dengan jaringan terorisme. Bukti
lainnya adalah tidak ditemukannya sidik jariku pada tas hitam yang dijadikan
barang bukti. Posisiku terangkat. Aku merasa bahagia diantara kepasrahanku.
***
“Bagaimana dengan shalatmu?” tanyaku pada
Farhat.
“Kau selalu menanyakan itu. Kenapa
kau tak tanyakan kabarku? Setelah kau keluar dari penjara mukamu terlihat
semakin bercahaya.” Ucapnya.
“Tentu. Itulah kekuatan seorang
muslim. Cahaya akan terpancar pada orang-orang yang senantiasa menjaga
shalatnya. Saudaraku, sekarang kau melihat sendiri, aku telah keluar dari
penjara. Aku terbebas dari kasus pelik yang ku hadapi. Semua itu tiada lain
karena pertolongan dari-Nya. Aku begitu menyayangimu sebagai saudara. Besok aku
harus pergi ke Indonesia untuk menemui keluargaku yang khawatir denganku karena
kasus yang menimpaku beberapa waktu lalu. Sebelum aku pergi dari negeri ini aku
ingin memastikan bahwa kau tetaplah saudaraku. Saudaraku sesama muslim.” Ucapku
panjang lebar.
Farhat tersenyum mendengar
ucapanku. Ada air mata yang dia tahan di pelupuk matanya. Wajah putihnya
memerah.
“Fadlan, Allah mendatangkanmu
kesini bukan hanya untuk mengujimu. Allah mendatangkanmu untuk mengingatkanku
agar kembali meraih Ridha-Nya. Ketika aku tahu kau bebas dari penjara, aku
telah kembali pada-Nya. Kembali melaksanakan shalat lima watu meski aku tahu
aku harus berurusan dengan sipir setiap hari seperti yang kau lakukan dulu. Kau
telah mengingatkanku dengan shalatmu. Allah Maha Penolong. Tak sepantasnya aku
meninggalkannya. Fadlan sampai kapanpun kita tetap saudara. Semoga Allah
mempersatukan kita di surga sebagai saudara.”
Air mataku menetes perlahan. Mataku
kini melihat sosok pria Lebanon yang kuat. Pria Lebanon bermata bulat itu kini
telah kembali pada-Nya. Menjadi salah satu hamba-Nya yang bertaqwa. Dia telah
kembali menjadi muslim seutuhnya. Kuserahkan selembar kertas yang telah ku
bawa. Dia tersenyum ketika membaca syair yang ku tulis untuknya.
Jika kau lelah
Jika kau putus asa
Jika kau merasa tak
berdaya
Kembalikan hatimu
kepada-Nya
Disini, Disana, Saat ini dan seterusnya
Ketika hatimu tergetar karena ketakutan
Ketika kau merasakan sakit yang tak bisa kau tahankan
Kembalikan
hatimu kepada-Nya
Disini,
Disana, Saat ini dan seterusnya
Ketika hatimu merasa
bahagia
Ketika fikiranmu
dihiasi bunga-bunga surga
Kembalikan hatimu
kepada-Nya
Karena
bagaimanapun kau lelah menapaki harimu
Hatimu akan
kembali kepada-Nya.
Itulah kekuatan,
yang telah diwariskan
Kekuatan seorang
muslim dimana iman telah terpahat kuat di dadanya.
Bandung, 18 Februari 2013 Pkl. 21:33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar