Minggu, 05 Mei 2013

KEMBALI_Cerpen Islami


KEMBALI
Oleh: Nuni Wahyuni, Pendidikan Sosiologi, FPIS, UPI

Aku duduk di atas kursi kayu di tengah ruangan yang remang. Kakiku yang telanjang menapaki lantai keramik yang dingin. Tanganku diborgol di belakang sandaran kursi. Wajahku yang disoroti oleh sebuah lampu terasa panas karena menahan amarah. Mataku menatap lesu kearah dua lelaki berseragam biru tua yang terus memberondongku dengan pertanyaan yang justru mengintimidasi. Grundnorm yang mereka miliki tak berlaku bagi orang yang dianggap sebagai teroris meski itu masih belum terbukti.
“Hei Indonesian, akui saja bahwa kamu itu teroris!” Salah seorang pria berbicara sambil mendekatkan wajahnya ke depan wajahku. Bau alkohol begitu menyengat ketika mulut pria itu berada tepat di depan hidungku.
“Sungguh, saya bukan teroris Sir.” Jawabku sambil berdzikir di dalam hati.
“Kau bernama Muhammad Fadlan, seorang muslim, asalmu dari Indonesia, saat ini kau tercatat sebagai mahasiswa di salah satu universitas di Timur Tengah. Di bandara ditemukan sebuah tas hitam atas nama dirimu yang diketahui berisi bahan-bahan untuk membuat bom. Lalu perlu bukti apa lagi? Kau sudah tertangkap basah, kau masih mau mengelak lagi?”
“Tapi saya benar-benar bukan seorang teroris.” Jawabku tetap kukuh
“euggggghhhhh” Sebuah pukulan mendarat di atas perutku.
“Hey! Kau itu benar-benar keras kepala. Kau hanya tinggal akui saja bahwa kau itu seorang teroris dan tanda tangani surat pengakuannya maka urusan akan jadi mudah.”
“Apa saya harus mengakui sesuatu yang tak saya lakukan?”
“Apa? Sesuatu yang tak kau lakukan? Kau ini sudah tertangkap basah masih mengelak. Apakah aku harus memukulmu lagi baru kau mau mengaku?” Tangan pria itu kembali siap mendarat di atas perutku. Aku sudah bersiap menerima pukulan darinya tapi pria di sebelahnya menghentikan tangan temannya. Matanya yang tajam menatap lekat wajahku yang penuh dengan keringat.
“Tahan tanganmu Yurevich! Dia warga asing, kita tak bisa menyiksanya begitu saja. Kembalikan dia ke penjara. Sudah cukup kita mengintrogasinya. Setelah semua dokumen lengkap, kasusnya akan dilimpahkan ke meja hijau. Mungkin saat ini dia tak mau mengakuinya, tapi kebenaran akan terbukti di pengadilan.”
***
Aku merasa lelah dengan semuanya. Di penjara ini waktuku begitu dibatasi. Aku melakukan pekerjaan-pekerjaan di dalam penjara dan bergaul dengan beberapa narapidana. Pekerjaan yang begitu menyita waktu membuat seorang muslim sepertiku harus berurusan dengan sipir penjara setiap hari karena keinginanku untuk tetap menjalankan shalat lima waktu. Beberapa kali aku harus menerima sanksi karena aku dianggap telah menyalahi aturan penjara terutama dalam hal waktu.
Di penjara ini aku bertemu dengan muslim lainnya. Dia bernama Farhat, warga negara Lebanon yang bermigrasi ke negeri para mafia ini. Awalnya dia bekerja sebagai penjual ikan di salah satu pasar kecil di sudut kota Moskwa, tapi dia harus berurusan dengan hukum dan di penjara karena telah membunuh warga Rusia yang hendak mencuri uang hasil penjualan ikannya. Meski berniat membela diri, tapi bagi warga asing seperti kami keadilan dan hak asasi bukanlah hal yang bisa di perjuangkan dengan mudah di negeri yang mengaku komunis ini.
“Ayo kita shalat! waktu shalat dzuhur telah tiba.” Aku mengajak Farhat yang masih memegang godam dan memecah batu dengan keringat yang terus mengucur.
“Kau saja. Aku sudah lama tidak shalat. Sejak memasuki penjara ini, aku tahu bahwa shalat tak bisa mengeluarkanku dari penjara. Bahkan karena shalat aku akan menerima sanksi pekerjaan ganda setiap hari sepertimu.” Jawabnya sambil terus memecah batu.
“Jadi, selama ini kau meninggalkan Tuhanmu? Sayang sekali, padahal aku yakin kau sangat meridukan-Nya.”
“Hei Indonesian, Urusi saja urusanmu sendiri. Jika kau memang ingin shalat, ya shalat saja. Tak perlu kau berceramah di sini.” Ucapnya sambil menatapku tajam. Tatapannya mengisyaratkan bahwa dia merasa tersinggung dengan ucapanku tadi. Gagang godam di genggam dengan kuat oleh kedua tangannya yang kasar.
Aku pergi meninggalkan Farhat yang kembali memecah batu. Aku menghampiri sipir penjara. Seakan sudah mengerti, dia menatapku dan menganggukkan kepalanya. Aku tahu, dengan komitmenku untuk tetap menjaga shalat lima waktu, aku harus bekerja lebih lama di banding dengan narapidana lainnya. Yah, itulah konsekuensi yang harus aku terima.
“347” Seorang sipir penjara mendatangi sel dan memanggil nomor tahananku.
Yes sir?” Tanyaku sambil mendekati jeruji.
“cepat keluar. orang dari kedutaan Indonesia menjengukmu.” Ucapnya sambil membuka pintu sel.
Aku melangkahkan kaki melewati lorong-lorong di antara jeruji. Ini kali pertama sejak aku berada di tahanan aku mendapat kunjungan. Langkah kakiku terhenti ketika aku berada disebuah ruangan dengan beberapa kursi dan meja yang berkelompok. Di salah satu meja aku melihat sosok yang ku kenal. Herman. Dia berdiri dan tersenyum ramah menyambutku yang masih berdiri di ambang pintu.
“Apa kabar kawan?” tanyanya sambil menyalamiku dan mengajakku untuk duduk. Di samping kirinya duduk seorang pria asing dan seorang yang dari kulit dan bentuk wajahnya ku duga orang Indonesia.
“Kabar baik. Bagaimana kau ada di sini? Bukankah kau telah kembali ke Mesir?” Tanyaku setengah tak percaya.
“Ya. Aku kembali ke sini setelah mendengar kabar penangkapanmu seminggu yang lalu. Perlu beberapa hari untuk mendapatkan izin bertemu denganmu.”
“Nampaknya sekarang aku menjadi orang penting. Untuk bertemu denganku saja kau harus menunggu beberapa hari.” Kelakarku sambil tertawa.
“Fadlan, kau masih bisa tertawa? Tahukah kau, betapa serius kasus yang kau hadapi. Di Indonesia kau menjadi head line di semua berita.”
“Aku tahu. Tuduhan teroris begitu memberatkanku. Aku harus tertahan di negeri ini dan tidak bisa melanjutkan tesisku. Aku juga tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi. Padahal selama empat bulan aku di sini aku tak pernah melakukan hal lain selain mengerjakan penelitian.”
“oh ya, berbicara mengenai tesismu, tolong maafkan aku. Aku tak bisa memperjuangkannya untukmu. Ini surat dari Universitas. Karena kasus ini, komite disiplin telah mencabut status kemahasiswaanmu.” Ucapnya getir sambil mengeluarkan surat yang dibungkus oleh amplop berwarna cokelat.
Tanganku bergetar ketika membuka amplop coklat di tanganku. Air mataku terlanjur keluar sebelum mataku sempat mebaca setiap kata yang tertera di atas kertas itu. Tangisku pecah setelah aku selesai membacanya.
“Bersabarlah saudaraku, yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya kau keluar dari kasus ini. Aku tahu kau sama sekali tak bersalah. Tiga bulan aku menemanimu di sini. Aku sangat mengetahui aktivitasmu selama ini. Aku siap menjadi saksi. Di sebelah kiriku adalah Ladonkin, dia pengacara Rusia yang telah aku tunjuk sebagai pengacaramu dan di sebelahnya adalah Pak Anwar, pengacara dari Indonesia yang ditunjuk oleh pihak kedutaan. Mereka akan bekerjasama menangani kasusmu dan membuktikan bahwa kau sama sekali tidak terlibat terorisme.” Ucapnya sambil menenangkanku.
“Bagaimana keadaan keluargaku? Pasti mereka khawatir dengan pemberitaan di media masa tentang penangkapanku.” Seakan tak peduli, aku meletakkan kembali surat Drop Out yang ada di tanganku ke atas meja.
“Kemarin ayahmu menelpon. Aku telah menjelaskan apa yang terjadi. Aku yakin dia mempercayaimu. Sekarang yang harus kau lakukan adalah berusaha menjaga dirimu sebaik mungkin di penjara ini. Jangan sampai membuat kesalahan dan teruslah berdo’a.”
“Maaf nak Fadlan, apakah pihak kepolisian telah mengintrogasimu?” tanya Pak Anwar yang duduk paling sudut.
“Iya, sudah pak.”
“Apakah mereka meminta kau mengaku bahwa kau seorang teroris?”
“Ya, mereka memintaku menandatangani surat pengakuan bahwa aku adalah seorang teroris. Tapi aku tidak menandatanganinya. Aku tahu jika aku menandatanganinya itu akan memberatkan posisiku.”
“Bagus. Aku yakin kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan. Sekarang yang paling penting adalah kita harus mengumpulkan saksi-saksi dan bukti-bukti untuk membuktikan bahwa kau tidak terlibat dengan jaringan terorisme.”
“Mungkin selain Herman, Prof. Tomski dan Dr. Yelena juga bisa dijadikan saksi. Selama disini aku sering menghabiskan waktu untuk penelitian dengan mereka. Gerrard dan Jodi juga mungkin bisa menjadi saksi. Mereka tinggal dengaku di flat yang kami sewa bersama ” Jawabku sambil berusaha tersenyum.
“Baiklah nak. Aku dan Ladonkin sebagai pengacaramu akan berusaha membebaskanmu. Kami akan mengunjungimu minggu depan. Sepertinya dua minggu lagi kasusmu akan segera dilimpahkan ke pengadilan. Bersiaplah dan jangan lupa berdo’a.” Ucapnya sambil berusaha menenangkanku dengan sorot matanya yang optimis.
***
Sidang tadi pagi benar-benar memberatkanku. Tas hitam yang menjadi barang bukti memang benar-benar ditemukan atas namaku. Prof. Tomski dan Dr. Yelena sedang melakukan seminar internasional di Amerika. Mereka belum bisa didatangkan sebagai saksi. Gerrard dan Jodi tiba-tiba menghilang entah kemana. Hanya Herman yang menjadi saksi. Kesaksiannya dianggap kurang kuat karena adanya hubungan pertemanan yang kuat di antara kami. Aku benar-benar merasa tertekan dengan situasi yang ku hadapi. Apa yang harus ku lakukan? Bayang-bayang vonis dua puluh tahun penjara dan hukuman mati mengahantui setiap sel dalam syaraf otakku.
“Sudah aku katakan, shalat tak bisa menolongmu.” Ucap Farhat sambil memakan kentang kecil di piringnya.
“Setidaknya shalat telah membuat hatiku tenang.” Jawabku dengan menatap matanya yang mengeras.
“ha...ha.... Kau ini benar-benar keras kepala. Aku tahu kasusmu itu lebih berat dari kasusku. Dari yang ku tahu kau sudah tak bisa mengelak lagi. Kau harus bersiap untuk terus berada di sini. Dan jika kau berada disini, apakah kau akan tetap bersikukuh dengan shalatmu itu?” Dia menatapku dengan pandangan mengejek.
“Sampai kapanpun aku tak akan pernah mau meninggalkan Tuhanku. Aku yakin ada hikmah tersendiri di balik semua musibah yang menimpaku. Aku berjanji, akan tetap menajaga shalatku.”
“Dasar Stupid. Aku yakin sebentar lagi kau akan lupa dengan janjimu itu.”
“Aku yakin suatu saat kau akan kembali pada Tuhanmu.” Jawabku sambil tersenyum.
Farhat nampak marah dengan kata-kataku. Tapi di sisi lain aku menemukan sebuah harapan di sorot lensa matanya yang kehijauan. Matanya menunjukkan sebuah kerinduan yang dalam untuk kembali bersujud kepada Allah seperti apa yang dulu senantiasa dilakukannya.
***
“Bagaimana ini? Kedua teman seflatmu tidak bisa dihubungi. Mereka telah menghilang sejak kau ditangkap di bandara.” Ucap Ladonkin.
“Adakah saksi lain?” Tanya Pak Anwar yang duduk disampingnya.
“Tidak. Hanya mereka yang bisa kita jadikan saksi. Bagaimana dengan Prof. Tomski dan Dr. Yelena, kapan mereka kembali?” Tanyaku.
“Mereka baru bisa kembali bulan depan. Padahal persidangan untuk pembelaan akan dilanjutkan minggu depan. Kalau seperti ini, posisi kita akan sulit.” Ucap Ladonkin dengan nada pesimis.
“Tenanglah. Kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk membuktikan ketidakterlibatan Fadlan dengan terorisme. Aku yakin masih ada jalan.” Ucap Pak Anwar.
Dalam tahajud kali ini, aku bersujud cukup lama. Bayangan dua puluh tahun di penjara di negeri ini atau menghadapi hukuman mati membuat fikiranku kacau. Hanya dengan bersujud lama, memohon pertolongan dari-Nya aku baru bisa menemukan ketenangan.
“Ya Allah, Kau yang Maha Pengasih, Kaulah Maha Penolong, hanya pada-Mu aku memohon pertolongan. Ini adalah ujian yang kau berikan padaku. Besok aku harus menghadapi keputusan pengadilan. Tapi aku tahu, keadilan ada di tangan-Mu. Seandainya aku tak menemukannya di dunia maka pertemukanlah aku dengan keadilan-Mu di akhirat.” Desahku.
Pagi harinya aku kembali duduk di kursi terdakwa. Ada satu kesempatan lagi pembelaan bagiku. Aku hanya bisa pasrah menghadapi persidangan kali ini, mengingat sulitnya mendatangkan saksi dan jelasnya barang bukti.
“Tenanglah.” Ucap Herman sesaat setelah aku tiba di pengadilan.
Tiba disaat pembelaan. Aku pasrah. “Saksi hanya Herman.” Desahku.
Tiba-tiba tanpa ku duga, pengacaraku memanggil Prof. Tomski dan Dr. Yelena. Mereka memberi kesaksian yang menguntungkan posisiku. Pengacara juga mengajukan barang bukti yang menunjukkan aku tidak memiliki hubungan dengan jaringan terorisme. Bukti lainnya adalah tidak ditemukannya sidik jariku pada tas hitam yang dijadikan barang bukti. Posisiku terangkat. Aku merasa bahagia diantara kepasrahanku.
***
 “Bagaimana dengan shalatmu?” tanyaku pada Farhat.
“Kau selalu menanyakan itu. Kenapa kau tak tanyakan kabarku? Setelah kau keluar dari penjara mukamu terlihat semakin bercahaya.” Ucapnya.
“Tentu. Itulah kekuatan seorang muslim. Cahaya akan terpancar pada orang-orang yang senantiasa menjaga shalatnya. Saudaraku, sekarang kau melihat sendiri, aku telah keluar dari penjara. Aku terbebas dari kasus pelik yang ku hadapi. Semua itu tiada lain karena pertolongan dari-Nya. Aku begitu menyayangimu sebagai saudara. Besok aku harus pergi ke Indonesia untuk menemui keluargaku yang khawatir denganku karena kasus yang menimpaku beberapa waktu lalu. Sebelum aku pergi dari negeri ini aku ingin memastikan bahwa kau tetaplah saudaraku. Saudaraku sesama muslim.” Ucapku panjang lebar.
Farhat tersenyum mendengar ucapanku. Ada air mata yang dia tahan di pelupuk matanya. Wajah putihnya memerah.
“Fadlan, Allah mendatangkanmu kesini bukan hanya untuk mengujimu. Allah mendatangkanmu untuk mengingatkanku agar kembali meraih Ridha-Nya. Ketika aku tahu kau bebas dari penjara, aku telah kembali pada-Nya. Kembali melaksanakan shalat lima watu meski aku tahu aku harus berurusan dengan sipir setiap hari seperti yang kau lakukan dulu. Kau telah mengingatkanku dengan shalatmu. Allah Maha Penolong. Tak sepantasnya aku meninggalkannya. Fadlan sampai kapanpun kita tetap saudara. Semoga Allah mempersatukan kita di surga sebagai saudara.”
Air mataku menetes perlahan. Mataku kini melihat sosok pria Lebanon yang kuat. Pria Lebanon bermata bulat itu kini telah kembali pada-Nya. Menjadi salah satu hamba-Nya yang bertaqwa. Dia telah kembali menjadi muslim seutuhnya. Kuserahkan selembar kertas yang telah ku bawa. Dia tersenyum ketika membaca syair yang ku tulis untuknya.
Jika kau lelah
Jika kau putus asa
Jika kau merasa tak berdaya
Kembalikan hatimu kepada-Nya
            Disini, Disana, Saat ini dan seterusnya
            Ketika hatimu tergetar karena ketakutan
            Ketika kau merasakan sakit yang tak bisa kau tahankan
Kembalikan hatimu kepada-Nya
            Disini, Disana, Saat ini dan seterusnya
Ketika hatimu merasa bahagia
Ketika fikiranmu dihiasi bunga-bunga surga
Kembalikan hatimu kepada-Nya
Karena bagaimanapun kau lelah menapaki harimu
Hatimu akan kembali kepada-Nya.
Itulah kekuatan, yang telah diwariskan
Kekuatan seorang muslim dimana iman telah terpahat kuat di dadanya.









Bandung, 18 Februari 2013 Pkl. 21:33 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar