LAGU KEMATIAN
Oleh Nuni Wahyuni
Bau keringat bercampur dengan bau apek dari
kursi bus disampingku begitu menusuk hidung. Di
tambah lagi dengan bau yang tak jelas hasil perkawinan dari bau minyak wangi dan bau keringat orang-orang
yang berdiri berdesakkan denganku membuat makanan yang tadi siang ku makan ingin
keluar dari proses pencernaanku. Terkadang bus berhenti untuk kembali
menyiksaku dengan menambah penumpang sehingga semakin sempit ruang gerak yang kumiliki. Awalnya bus melaju begitu lambat, tiba-tiba bus melaju dengan kencang dan berhenti mendadak, membuat
tulang-tulangku serasa remuk karena harus berbenturan dengan orang yang berada
di depanku.
Sekarang
penderitaanku sudah mencapai puncaknya. Penumpang sumakin banyak dan belum ada
satu orangpun yang turun, hampir setengah jam aku berdiri berhimpitan dengan
orang-orang yang berbau tujuh rupa. Udara
segar menjadi langka. Rasa tak nyaman ku pun di tambah dengan teriakan dari
supir bus yang marah-marah kepada kondekturnya, sekilas ku mendengar mereka
bertengkar karena sang supir ingin menambah muatan sedang kondektur merasa
penumpang sudah terlalu penuh. Aku benar-benar tersiksa. Ingin rasanya ku
keluarkan ponsel ku dan aku dengarkan melodi-melodi indah yang telah ku program
di dalamnya. Mungkin dengan cara seperti itu aku dapat mengurangi penderitaanku
karena tak perlu mendengarkan kata-kata tak nyaman dari makhluk-makhluk yang
sedang bertengkar hanya karena muatan. Tapi sayang, ruang gerak ku yang
terbatas membuat tangan pun tak mampu untuk mengambil ponsel dari saku kiri
celanaku.
“ Perempatan persiapan.” teriak kondektur bus
Dua orang yang
berdiri di depanku berjalan dengan susah payah mendekati pintu belakang bus.
Tiga orang yang sedang duduk pun berdiri, salah satunya seorang wanita muda
yang ada di depanku. Setelah dia keluar dari kursinya dan menuju pintu belakang
aku segera duduk di kursi yang tadi dia duduki.
“akhirnya....”
Desahku
Seorang wanita tua
duduk di samping kiriku. Wajahnya tidak terlalu putih namun bersih bercahaya
sedikit menutupi keriput-keriput yang ada di wajahnya. Dia menggunakan jilbab
biru tua dengan kerudung biru muda yang terjuntai sampai dada. Dia memejamkan
matanya, namun bibirnya bergerak seperti mengucapkan sesuatu. Aku perhatikan
gerak mulutnya dan akhirnya ku tahu bahwa ia mengucapkan kalimat basmallah. Aku
berkata dalam hati, namanya juga orang tua harus sering-sering lah ingat Tuhan,
kan udah deket sama mati.
Aku melihat ke luar
jendela. Aku baru sadar ternyata di luar hujan begitu deras. Tadi aku begitu
tersiksa sehingga tak menyadari derasnya hujan di luar bus. Bus terus melaju
menembus gunung yang berkelak-kelok di selimuti kabut dan derasnya hujan. Aku
keluarkan ponsel dari celanaku. Aku mainkan lagu terindah yang telah ku program
didalamnya. Ku dengarkan melalui hadset yang telah ku pasang padanya. Aku
kembali melirik ibu tua yang duduk di samping kiriku. Dia masih asyik dengan
dzikirnya. Aku menyandarkan kepalaku di sandaran kursi. Aku memejamkan mata
sambil dibelai oleh syair-syair lagu
yang menusuk kalbuku.
...For all those
times you stood by me
For all the truth
that you made me see
For all the joy you
brought to my life
For all the wrong
that you made right...
Suara indah Celine Dion
dalam lagu because you loved me membelaiku hingga tak kurasa aku terlelap. Mungkin
terlalu cengeng untuk seorang laki-laki. Tapi lagu ini adalah lagu kenangan.
Kenangan ku dengannya. Dengan gadis yang sekarang ku tuju rumahnya. Inilah yang
ku inginkan, ku terlelap melepaskan lelah hidupku dengan didampingi melodi
indah luar biasa.
****
Braaaaaaaaak...
Aku bangun dari
tidurku namun tak sepenuhnya aku sadar dengan apa yang terjadi. Tulang-tulang
ku serasa remuk, darah segar mengalir dari kepalaku. Kaki ku terhimpit oleh
besi jok mobil, aku tak dapat menggerakannya. Lagu-lagu cinta nan indah masih
kudengar dari hadset yang terpasang ditelingaku. Dengan lemah ku lepaskan
hadset dari telingaku. Lagu cinta yang
baru saja menemani tidurku kini berubah menjadi suara-suara rintihan. Ada yang
mengerang kesakitan, ada yang beristigfar dengan sangat lemah, dan terdengar
tangisan anak kecil sambil memanggil-manggil ibunya. Aku mulai menyadari apa
yang terjadi. Ingin rasanya ku sebut nama Allah namun yang terucap malah
petikan lirik lagu cinta yang sepertinya begitu membekas di hatiku. Berulang
kali ku coba namun tetap saja tak mampu aku mengucapakannya. Aku malah berulang
kali mengucapkan syair-syair lagu cinta yang sekarang menjadi tak berguna. Ku
lihat ke samping kananku. Bapak tua yang tadi berdiri disamping kanan ku
bertumpuk bersama orang-orang yang mungkin telah menjadi mayat. Dia mengerang
lemah. Lalu hening. Dari kepala sampai kakinya di penuhi oleh darah yang masih
segar. Bau keringat, apek, serta minyak wangi yang tadi menusuk hidungku kini
berganti menjadi bau amis dari darah-darah yang berceceran. Ku lihat ibu tua
yang berada di samping kiriku. Aku terkejut melihatnya. Tak ada setetespun
darah yang mengalir di kepalanya begitu pula di badannya ia masih terus
memejamkan matanya sambil mengucapkan kalimat basmallah dengan begitu tenang.
Aku rasa nyawaku
telah sampai pada batasnya. Tubuhku kian meregang, Rasa sakit yang menyiksaku
semakin lama semakin menyakitkan. Darah segar di kepalaku bercucuran hingga
membasahi bajuku. Kakiku yang terjepit besi jok kini telah menjadi mati rasa.
Kini darah tidak hanya keluar dari kepalaku yang terluka tetapi juga keluar
dari kedua lubang hidungku. Dadaku sesak luar biasa. Aku merasa sekujur tubuhku
sakit tak terkira. Aku berusaha untuk menyebut nama Allah. Namun sekali lagi,
hanya kata tak berguna yang keluar dari mulutku. Aku mengerang kesakitan lalu lidahku
menjadi kelu dan kini semuanya hening.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar