Minggu, 05 Mei 2013

Meja Makan_Cerpen Sosial


MEJA MAKAN
Oleh Nuni Wahyuni
Ruangan itu dihiasi lemari kaca, diisi pernak-pernik kecil bergaya Eropa. Dindingnya bercat putih tulang dengan ornamen khas jawa. Di sudut kanan ruangan, sebuah guci besar buatan China berdiri kokoh dan angkuh. Di samping guci tersebut, duduk berhadapan seorang pemuda dan seorang pria paruh baya di sisi meja makan yang berjauhan. Di bawah dinding yang ditempeli lukisan bergambar rumah zaman kolonial yang dibingkai dengan pigura berukiran batik solo, seorang wanita paruh baya duduk di atas kursi kayu berukiran bunga anggrek. Bibirnya yang dipoles lipstik coklat terlihat bergetar, berkomat-kamit dengan berbisik, matanya menutup, air mukanya keruh.
Pemuda memandang tajam pria paruh baya yang duduk dengan tenang sambil meminum Cognac yang dituang ke dalam gelas kristal. Hidungnya yang bangir mencium wangi makanan yang bercampur dengan aroma kayu cendana. Meski begitu, makanan yang tersedia di hadapannya belum disentuh sama sekali.
“Apa yang anda inginkan?” Tanya si pemuda dengan nada tegas
“Ha...ha..., apakah begitu caramu bertamu anak muda? Jangan buru-buru, aku sudah menyiapkan hidangan mewah ini. Ayo kita makan! Tenang, tidak ada racun pada makanan-makanan ini. Aku sama sekali tidak berniat menjadi pembunuh,” jawab pria paruh baya sambil tertawa.
Sudut kiri bibir pria muda terangkat, mengembangkan senyum yang terlihat sinis. Mata elangnya yang tajam melirik sekilas meja makan yang di atasnya tersedia makanan khas jawa yang disimpan diatas piring-piring porselen putih serta mangkuk kristal berisi aneka ragam buah-buahan, kemudian matanya kembali dengan lekat memandang wajah pria paruh baya yang masih terlihat tenang. “Anda mungkin bisa mengatakan bahwa anda tak berniat menjadi pembunuh, tapi anda sendiri tahu bahwa perkataan itu hanyalah omong kosong. Anda memiliki cara yang lebih halus sehingga dengan cara itu sedikit demi sedikit anda membunuh orang-orang yang tidak berdaya.”

“Anak muda bodoh! Kau tidak mengerti apa yang kau katakan! Jaga cara bicaramu atau kau akan menyesal!” Pria paruh baya mulai meninggikan nada bicaranya. Dia mencengkram kuat gelas kristal ditangannya, membuat cognac di dalamnya sedikit menciprati blezer yang dia kenakan.
“Sudahlah... jangan berbasa-basi lagi. Aku tidak merasa tertarik dengan makanan-makanan ini. Cepat katakan apa yang kau inginkan dan aku bisa pergi!” Pemuda itu semakin meninggikan nada bicaranya, lebih tinggi dari nada bicara orang yang duduk di depannya. Tangannya menggebrak meja makan, namun tak menghasilkan suara yang begitu keras karena meja mewah itu terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi.
Wajah pria paruh baya terlihat mengeras. Rahangnya mengatup, sedikit menggeretakkan gigi-ginya. Dia menatap lebih tajam ke arah wajah pemuda di depannya. “Baiklah, kau memang tidak suka basa basi.” Pria paruh baya berhenti bicara, kembali menenggak Cognac yang ada di gelasnya, kemudian dia melanjutkan, “hentikan seluruh aktivitasmu. Apa kau berniat menggulingkan kekuasaanku dan menjebloskanku ke dalam penjara? Kau tahu risiko apa yang akan kau dapatkan jika kau melakukannya?”
“Sekarang aku mengerti, kenapa anda mengundangku ke sini. Apa anda takut jika kenyataan yang selama ini ditutupi terkuak dengan gampang? Ha... ha... ternyata singa yang dianggap kuat sudah mulai renta dan kehilangan rasa percaya dirinya.”
Pria paruh baya kembali terlihat tenang. Wajahnya yang tadi mengeras kini mulai terkendali.“Ya, aku memang singa yang kuat. Aku masih belum kehilangan kekuatanku. Namun, aku telah membuat sebuah kesalahan fatal dengan membiarkan seekor anak singa tumbuh lebih liar dan ganas sehingga kedudukanku menjadi terancam.”
“Itu bukanlah kesalahan. Jika kau tidak membiarkan anak singa itu tumbuh dengan liar, maka singa-singa kuat akan semakin merajai hutan dan menggerogoti seluruh kekayaan yang ada di dalamnya,” jawab pria muda dengan terus menatap ke arah pria paruh baya di depannya
“Kau tahu, mungkin seharusnya aku merasa menyesal membiarkan pikiranmu tumbuh dengan liar. Terserah jika kau memang ingin meneruskan aksimu itu. Meraung-raung di tengah jalan, meneriakkan keadilan. Kelompok anti korupsi? Aku ingin tahu seberapa besar kekuatanmu untuk menggulingkan kejayaanku.” Pria paruh baya berbicara dengan nada yang lebih tegas dari sebelumnya.
“Bapak pejabat yang saya hormati, sekuat keyakinanmu, aku akan meneruskan semua aksiku.” Pria muda itu sedikit melembutkan cara bicaranya dan mengangkat alisnya yang menimbulkan kerutan di sekitar dahinya, sudut kiri bibirnya sedikit mengangkat. “Bukankah sudah sepantasnya anda merasa khawatir? Hampir semua rahasia yang anda tutupi telah aku ketahui dan akan aku beberkan seluruh kejahatan yang anda lakukan. Anda, seorang pejabat tinggi negeri ini, yang telah lama mendapat gelar doktor ilmu politik dari universitas ternama luar negeri, dianggap sosok pejabat beridealisme tinggi, bertahun-tahun justru menghisap kekayaan negeri ini melalui pori-pori yang anda tutupi. Sekarang saatnya anda menebus kesalahan yang telah anda lakukan.” Pemuda itu berbicara sambil sekilas melihat ke arah wanita paruh baya yang duduk gelisah dikursinya.
Raut pria paruh baya mulai berubah. Bola matanya terlihat sedikit mencekung. Dahinya mengkerut. Bibirnya bergerak tipis. “Terserah apa yang ingin kau lakukan. Aku hanya ingin berpesan bahwa suatu saat, ketika kau masuk dalam kuasa perpolitikan, kau akan merasakan hidup dalam tekanan, saat itu kau tidak bisa lagi memilih selain meninggalkan idealisme yang kini kau pegang. Hidup di dunia politik adalah hidup di dunia abu-abu. Kehidupanmu diatur oleh sistem yang berlaku, dia memaksamu terjebak pada pengkhianatan terhadap aturan. Menjadi politikus bersih memang harapan semua orang, tapi pada kenyataannya, para politikus ditekan oleh sisi gelap kekuasaan.” Suara pria paruh baya terdengar sedikit bergetar.
“Itulah yang membuatku kecewa. Dulu, anda adalah sosok politikus yang aku teladani cita-cita dan pemikirannya. Sebelum anda terjebak di antara sisi gelap kekuasaan, anda adalah pria yang penuh wibawa, cerdas, bijak, beridealisme tinggi dan terus berjuang membela hak-hak rakyat. Tulisan, karya dan aksi anda yang cemerlang menunjukkan pemikiran yang bersih. Hingga ketika datang sebuah pinangan dari partai besar, anda melupakan cita-cita, meninggalkan ideologi yang dulu dipegang. Anda menghancurkan keteladanan dan menyerahkan diri pada sisi gelap kekuasaan. Singa yang kuat sebenarnya telah begitu lemah. Taring yang selama ini ditunjukannya hanyalah taring yang dikendalikan oleh kekuasaan partai,” ucap pemuda dengan nada lemah sambil mengalihkan pandangan ke arah piring porselen berhiaskan gambar kijang di dalam lemari kaca.
Pria paruh baya menyunggingkan senyum aneh, rasa bangga dan khawatir menyelimuti hatinya. Cognac yang tadi memenuhi gelasnya kini telah habis. Minuman itu dianggap mampu membuatnya lebih bisa menguasai diri. Minuman yang dulu dibencinya, justru dia tenggak tanpa rasa berdosa. Dia tahu pemuda di depannya begitu membeci minuman itu, hal itu membuatnya semakin merasa senang dan tertantang. Dia ingin tahu seberapa jauh pemuda yang duduk tegak di depannya mampu melawan. “Bolehkah kita berbicara sebagai seorang anak dan ayah? Aku sudah merasa lelah, sedari tadi kita berbicara sebagai penguasa dan pemberontak. Tidakkah kita menghargai wanita yang duduk gusar di sudut kiri ruangan ini? Betapa tidak sopan jika kita membiarkan makanan ini tidak tersentuh sama sekali. Dia telah mempersiapkan semua ini sedari pagi dan aku tahu bahwa kita berdua sama-sama sedang lapar. Setahuku otak orang lapar tidak akan berfungsi dengan baik. Untuk sementara ini, biarlah kita berhadapan sebagai anak dan ayah yang saling merindukan. Mari kita makan! Setelah itu terserah apa yang ingin kau lakukan.” Suara pria paruh baya sedikit melembut. Dia menoleh ke arah wanita yang duduk di sudut kiri ruangan. Senyuman hangat tersungging di bibirnya. ”Bukankah kau merasa begitu khawatir dengan anak kita, Istriku? Lihat, dia memang begitu kurus sekarang. Sepertinya kehidupan yang dia jalani di luar sana begitu keras. Di sisi lain aku merasa bangga dengan keberaniannya. Tapi harus kuakui bahwa dia membuat posisiku terancam, mungkin sebentar lagi dia akan berhasil menjebloskanku ke penjara atau mungkin sebaliknya, aku yang justru menjebloskannya ke dalam penjara. Duduklah di sini! Mungkin ini adalah hari terakhir kita bisa makan siang bersama.”
Wanita paruh baya yang sedari tadi duduk di sudut kiri ruangan menghampiri meja makan. Dia duduk di sebelah kanan suaminya. Matanya yang memerah dan sembab bergantian memandang ke arah suami dan anaknya. ”Aku pikir kalian telah melupakan keberadaanku. Awalnya aku merasa hanyalah sebagai boneka pajangan yang tak kalian anggap sama sekali. Ingin rasanya aku menyudahi pembicaraan kalian sedari tadi. Sempat terpikir olehku untuk menumpahkan darahku agar kalian panik dan bekerja sama menolongku. Kuburlah ego kalian untuk sementara ini, setidaknya sampai kalian selesai makan.”
Ucapan wanita paruh baya itu menutup percakapan. Mereka makan dalam diam. Tidak ada satu orangpun yang memulai percakapan. Nasi dan lauk pauk yang telah tersaji cukup lama, kini mulai terasa dingin. Wanita paruh baya yang duduk di antara anak dan suaminya merasa makanan yang dengan tulus dia siapkan menjadi terasa hambar. Matanya sesekali menatap anak dan suaminya, namun dia lebih sering mengalihkan pandangan pada mangkuk-mangkuk putih yang berjajar rapih di atas tatakan.
Pemuda itu menatap ibunya yang terlihat lebih tua dibandingkan saat pertemuan terakhir mereka beberapa bulan yang lalu. Kerutan di sekitar mata ibunya terlihat semakin jelas. Wanita luar biasa yang mendidiknya itu kini menjadi lebih murung. Meski air mukanya terlihat keruh, pemuda itu yakin bahwa ibunya mendukung apa yang dilakukannya. Bahkan ibunya, selama ini dengan diam-diam memberikan informasi dan bukti-bukti kejahatan ayahnya. Walaupun sudah lama dia mengundurkan diri dari posisi dosen ilmu hukum di salah satu universitas kenamaan, namun keinginannya untuk menegakkan keadilan tidak pernah dia lupakan. Meskipun itu artinya dia harus menyerahkan suaminya pada lembaga peradilan. “Ibu percaya, kau akan berusaha sebaik mungkin. Ibu tahu, ayahmu sebenarnya ingin melepaskan diri dari belenggu kejahatan yang menguasai dirinya. Dia sudah sangat tersiksa hidup di bawah naungan belenggu hitam kekuasaan, jeratan korupsi dan suap yang tak terkendali. Bebaskanlah ayahmu dari belenggu itu. Mungkin cara ini akan sedikit menyakitinya. Tapi kita tidak punya pilihan. Ayahmu harus segera dibebaskan,” ucapnya saat terakhir kali mereka bertemu.
***
Dinding ruangan itu awalnya bercat putih, seiring hari berlalu cat itu kian mengelupas, sebagian berubah menjadi berwarna kuning kusam. Di dinding hanya ada satu hiasan, sebuah lukisan bunga yang sudah lusuh dimakan zaman. Ruangan itu dibagi dua oleh lemari pendek, menyisakan jalan kecil di antara keduanya, ruangan bagian depan di isi oleh kursi dan meja rotan untuk tamu serta televisi kecil yang diletakkan di atas meja yang terbuat dari kayu. Di bagian ruangan lainnya, perabotan yang ada hanyalah sebuah rak piring sederhana, meja makan yang terbuat dari kayu tua, dan dua kursi pelastik yang saling berhadapan. Diatas kursi yang berhadapan itu, duduk pria muda dan wanita paruh baya. Dari sana, mereka melihat televisi yang sedang menyala.
Seorang reporter cantik dengan blezer hijau toska membacakan berita, “seorang pejabat tinggi terbukti melakukan tindakan korupsi, seluruh hartanya diselidiki, sebagian telah di sita oleh KPK. Berkas perkaranya sudah mulai di limpahkan ke kejaksaan, kasus ini terkuak setelah adanya pengakuan dari anak tersangka bahwa...” wanita paruh baya tiba-tiba mematikan televisi dengan remote yang ada di atas meja. Pria muda masih duduk dalam diam. Memperhatikan televisi yang sekarang berlayar hitam.
“Sejak siang itu, aku belum menemui ayah lagi. Bukankah ibu juga merindukannya? Mungkin besok pagi sebaiknya kita pergi menemuinya,” ucap pemuda itu tiba-tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar