MEJA MAKAN
Oleh Nuni Wahyuni
Oleh Nuni Wahyuni
Ruangan itu dihiasi lemari kaca,
diisi pernak-pernik kecil bergaya Eropa. Dindingnya bercat putih tulang dengan ornamen
khas jawa. Di sudut kanan ruangan, sebuah guci besar buatan China berdiri kokoh
dan angkuh. Di samping guci tersebut, duduk berhadapan seorang pemuda dan
seorang pria paruh baya di sisi meja makan yang berjauhan. Di bawah dinding yang
ditempeli lukisan bergambar rumah zaman kolonial yang dibingkai dengan pigura
berukiran batik solo, seorang wanita paruh baya duduk di atas kursi kayu
berukiran bunga anggrek. Bibirnya yang dipoles lipstik coklat terlihat bergetar,
berkomat-kamit dengan berbisik, matanya menutup, air mukanya keruh.
Pemuda memandang tajam pria paruh
baya yang duduk dengan tenang sambil meminum Cognac yang dituang ke
dalam gelas kristal. Hidungnya yang bangir mencium wangi makanan yang bercampur
dengan aroma kayu cendana. Meski begitu, makanan yang tersedia di hadapannya
belum disentuh sama sekali.
“Apa
yang anda inginkan?” Tanya si pemuda dengan nada tegas
“Ha...ha..., apakah begitu caramu
bertamu anak muda? Jangan buru-buru, aku sudah menyiapkan hidangan mewah ini.
Ayo kita makan! Tenang, tidak ada racun pada makanan-makanan ini. Aku sama
sekali tidak berniat menjadi pembunuh,” jawab pria paruh baya sambil tertawa.
Sudut kiri bibir pria muda
terangkat, mengembangkan senyum yang terlihat sinis. Mata elangnya yang tajam
melirik sekilas meja makan yang di atasnya tersedia makanan khas jawa yang
disimpan diatas piring-piring porselen putih serta mangkuk kristal berisi aneka
ragam buah-buahan, kemudian matanya kembali dengan lekat memandang wajah pria
paruh baya yang masih terlihat tenang. “Anda mungkin bisa mengatakan bahwa anda
tak berniat menjadi pembunuh, tapi anda sendiri tahu bahwa perkataan itu
hanyalah omong kosong. Anda memiliki cara yang lebih halus sehingga dengan cara
itu sedikit demi sedikit anda membunuh orang-orang yang tidak berdaya.”
“Anak muda bodoh! Kau tidak
mengerti apa yang kau katakan! Jaga cara bicaramu atau kau akan menyesal!” Pria
paruh baya mulai meninggikan nada bicaranya. Dia mencengkram kuat gelas kristal
ditangannya, membuat cognac di dalamnya sedikit menciprati blezer
yang dia kenakan.
“Sudahlah... jangan berbasa-basi
lagi. Aku tidak merasa tertarik dengan makanan-makanan ini. Cepat katakan apa
yang kau inginkan dan aku bisa pergi!” Pemuda itu semakin meninggikan nada
bicaranya, lebih tinggi dari nada bicara orang yang duduk di depannya.
Tangannya menggebrak meja makan, namun tak menghasilkan suara yang begitu keras
karena meja mewah itu terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi.
Wajah pria paruh baya terlihat
mengeras. Rahangnya mengatup, sedikit menggeretakkan gigi-ginya. Dia menatap
lebih tajam ke arah wajah pemuda di depannya. “Baiklah, kau memang tidak suka
basa basi.” Pria paruh baya berhenti bicara, kembali menenggak Cognac yang
ada di gelasnya, kemudian dia melanjutkan, “hentikan seluruh aktivitasmu. Apa
kau berniat menggulingkan kekuasaanku dan menjebloskanku ke dalam penjara? Kau
tahu risiko apa yang akan kau dapatkan jika kau melakukannya?”
“Sekarang aku mengerti, kenapa anda
mengundangku ke sini. Apa anda takut jika kenyataan yang selama ini ditutupi
terkuak dengan gampang? Ha... ha... ternyata singa yang dianggap kuat sudah
mulai renta dan kehilangan rasa percaya dirinya.”
Pria paruh baya kembali terlihat
tenang. Wajahnya yang tadi mengeras kini mulai terkendali.“Ya, aku memang singa
yang kuat. Aku masih belum kehilangan kekuatanku. Namun, aku telah membuat
sebuah kesalahan fatal dengan membiarkan seekor anak singa tumbuh lebih liar
dan ganas sehingga kedudukanku menjadi terancam.”
“Itu bukanlah kesalahan. Jika kau
tidak membiarkan anak singa itu tumbuh dengan liar, maka singa-singa kuat akan
semakin merajai hutan dan menggerogoti seluruh kekayaan yang ada di dalamnya,”
jawab pria muda dengan terus menatap ke arah pria paruh baya di depannya
“Kau tahu, mungkin seharusnya aku
merasa menyesal membiarkan pikiranmu tumbuh dengan liar. Terserah jika kau
memang ingin meneruskan aksimu itu. Meraung-raung di tengah jalan, meneriakkan
keadilan. Kelompok anti korupsi? Aku ingin tahu seberapa besar kekuatanmu untuk
menggulingkan kejayaanku.” Pria paruh baya berbicara dengan nada yang lebih
tegas dari sebelumnya.
“Bapak pejabat yang saya hormati,
sekuat keyakinanmu, aku akan meneruskan semua aksiku.” Pria muda itu sedikit melembutkan
cara bicaranya dan mengangkat alisnya yang menimbulkan kerutan di sekitar
dahinya, sudut kiri bibirnya sedikit mengangkat. “Bukankah sudah sepantasnya
anda merasa khawatir? Hampir semua rahasia yang anda tutupi telah aku ketahui
dan akan aku beberkan seluruh kejahatan yang anda lakukan. Anda, seorang
pejabat tinggi negeri ini, yang telah lama mendapat gelar doktor ilmu politik
dari universitas ternama luar negeri, dianggap sosok pejabat beridealisme
tinggi, bertahun-tahun justru menghisap kekayaan negeri ini melalui pori-pori
yang anda tutupi. Sekarang saatnya anda menebus kesalahan yang telah anda
lakukan.” Pemuda itu berbicara sambil sekilas melihat ke arah wanita paruh baya
yang duduk gelisah dikursinya.
Raut pria paruh baya mulai berubah.
Bola matanya terlihat sedikit mencekung. Dahinya mengkerut. Bibirnya bergerak
tipis. “Terserah apa yang ingin kau lakukan. Aku hanya ingin berpesan bahwa
suatu saat, ketika kau masuk dalam kuasa perpolitikan, kau akan merasakan hidup
dalam tekanan, saat itu kau tidak bisa lagi memilih selain meninggalkan
idealisme yang kini kau pegang. Hidup di dunia politik adalah hidup di dunia
abu-abu. Kehidupanmu diatur oleh sistem yang berlaku, dia memaksamu terjebak
pada pengkhianatan terhadap aturan. Menjadi politikus bersih memang harapan
semua orang, tapi pada kenyataannya, para politikus ditekan oleh sisi gelap
kekuasaan.” Suara pria paruh baya terdengar sedikit bergetar.
“Itulah yang membuatku kecewa.
Dulu, anda adalah sosok politikus yang aku teladani cita-cita dan pemikirannya.
Sebelum anda terjebak di antara sisi gelap kekuasaan, anda adalah pria yang
penuh wibawa, cerdas, bijak, beridealisme tinggi dan terus berjuang membela
hak-hak rakyat. Tulisan, karya dan aksi anda yang cemerlang menunjukkan
pemikiran yang bersih. Hingga ketika datang sebuah pinangan dari partai besar,
anda melupakan cita-cita, meninggalkan ideologi yang dulu dipegang. Anda
menghancurkan keteladanan dan menyerahkan diri pada sisi gelap kekuasaan. Singa
yang kuat sebenarnya telah begitu lemah. Taring yang selama ini ditunjukannya
hanyalah taring yang dikendalikan oleh kekuasaan partai,” ucap pemuda dengan
nada lemah sambil mengalihkan pandangan ke arah piring porselen berhiaskan
gambar kijang di dalam lemari kaca.
Pria paruh baya menyunggingkan
senyum aneh, rasa bangga dan khawatir menyelimuti hatinya. Cognac yang
tadi memenuhi gelasnya kini telah habis. Minuman itu dianggap mampu membuatnya
lebih bisa menguasai diri. Minuman yang dulu dibencinya, justru dia tenggak
tanpa rasa berdosa. Dia tahu pemuda di depannya begitu membeci minuman itu, hal
itu membuatnya semakin merasa senang dan tertantang. Dia ingin tahu seberapa
jauh pemuda yang duduk tegak di depannya mampu melawan. “Bolehkah kita berbicara
sebagai seorang anak dan ayah? Aku sudah merasa lelah, sedari tadi kita
berbicara sebagai penguasa dan pemberontak. Tidakkah kita menghargai wanita
yang duduk gusar di sudut kiri ruangan ini? Betapa tidak sopan jika kita
membiarkan makanan ini tidak tersentuh sama sekali. Dia telah mempersiapkan
semua ini sedari pagi dan aku tahu bahwa kita berdua sama-sama sedang lapar.
Setahuku otak orang lapar tidak akan berfungsi dengan baik. Untuk sementara ini,
biarlah kita berhadapan sebagai anak dan ayah yang saling merindukan. Mari kita
makan! Setelah itu terserah apa yang ingin kau lakukan.” Suara pria paruh baya
sedikit melembut. Dia menoleh ke arah wanita yang duduk di sudut kiri ruangan.
Senyuman hangat tersungging di bibirnya. ”Bukankah kau merasa begitu khawatir
dengan anak kita, Istriku? Lihat, dia memang begitu kurus sekarang. Sepertinya
kehidupan yang dia jalani di luar sana begitu keras. Di sisi lain aku merasa
bangga dengan keberaniannya. Tapi harus kuakui bahwa dia membuat posisiku
terancam, mungkin sebentar lagi dia akan berhasil menjebloskanku ke penjara
atau mungkin sebaliknya, aku yang justru menjebloskannya ke dalam penjara. Duduklah
di sini! Mungkin ini adalah hari terakhir kita bisa makan siang bersama.”
Wanita paruh baya yang sedari tadi
duduk di sudut kiri ruangan menghampiri meja makan. Dia duduk di sebelah kanan
suaminya. Matanya yang memerah dan sembab bergantian memandang ke arah suami
dan anaknya. ”Aku pikir kalian telah melupakan keberadaanku. Awalnya aku merasa
hanyalah sebagai boneka pajangan yang tak kalian anggap sama sekali. Ingin
rasanya aku menyudahi pembicaraan kalian sedari tadi. Sempat terpikir olehku
untuk menumpahkan darahku agar kalian panik dan bekerja sama menolongku. Kuburlah
ego kalian untuk sementara ini, setidaknya sampai kalian selesai makan.”
Ucapan wanita paruh baya itu
menutup percakapan. Mereka makan dalam diam. Tidak ada satu orangpun yang
memulai percakapan. Nasi dan lauk pauk yang telah tersaji cukup lama, kini
mulai terasa dingin. Wanita paruh baya yang duduk di antara anak dan suaminya
merasa makanan yang dengan tulus dia siapkan menjadi terasa hambar. Matanya
sesekali menatap anak dan suaminya, namun dia lebih sering mengalihkan
pandangan pada mangkuk-mangkuk putih yang berjajar rapih di atas tatakan.
Pemuda itu menatap ibunya yang
terlihat lebih tua dibandingkan saat pertemuan terakhir mereka beberapa bulan
yang lalu. Kerutan di sekitar mata ibunya terlihat semakin jelas. Wanita luar
biasa yang mendidiknya itu kini menjadi lebih murung. Meski air mukanya
terlihat keruh, pemuda itu yakin bahwa ibunya mendukung apa yang dilakukannya.
Bahkan ibunya, selama ini dengan diam-diam memberikan informasi dan bukti-bukti
kejahatan ayahnya. Walaupun sudah lama dia mengundurkan diri dari posisi dosen
ilmu hukum di salah satu universitas kenamaan, namun keinginannya untuk
menegakkan keadilan tidak pernah dia lupakan. Meskipun itu artinya dia harus
menyerahkan suaminya pada lembaga peradilan. “Ibu percaya, kau akan berusaha
sebaik mungkin. Ibu tahu, ayahmu sebenarnya ingin melepaskan diri dari belenggu
kejahatan yang menguasai dirinya. Dia sudah sangat tersiksa hidup di bawah naungan
belenggu hitam kekuasaan, jeratan korupsi dan suap yang tak terkendali.
Bebaskanlah ayahmu dari belenggu itu. Mungkin cara ini akan sedikit
menyakitinya. Tapi kita tidak punya pilihan. Ayahmu harus segera dibebaskan,” ucapnya
saat terakhir kali mereka bertemu.
***
Dinding ruangan itu awalnya bercat
putih, seiring hari berlalu cat itu kian mengelupas, sebagian berubah menjadi berwarna
kuning kusam. Di dinding hanya ada satu hiasan, sebuah lukisan bunga yang sudah
lusuh dimakan zaman. Ruangan itu dibagi dua oleh lemari pendek, menyisakan
jalan kecil di antara keduanya, ruangan bagian depan di isi oleh kursi dan meja
rotan untuk tamu serta televisi kecil yang diletakkan di atas meja yang terbuat
dari kayu. Di bagian ruangan lainnya, perabotan yang ada hanyalah sebuah rak
piring sederhana, meja makan yang terbuat dari kayu tua, dan dua kursi pelastik
yang saling berhadapan. Diatas kursi yang berhadapan itu, duduk pria muda dan
wanita paruh baya. Dari sana, mereka melihat televisi yang sedang menyala.
Seorang reporter cantik dengan
blezer hijau toska membacakan berita, “seorang pejabat tinggi terbukti
melakukan tindakan korupsi, seluruh hartanya diselidiki, sebagian telah di sita
oleh KPK. Berkas perkaranya sudah mulai di limpahkan ke kejaksaan, kasus ini
terkuak setelah adanya pengakuan dari anak tersangka bahwa...” wanita paruh
baya tiba-tiba mematikan televisi dengan remote yang ada di atas meja. Pria
muda masih duduk dalam diam. Memperhatikan televisi yang sekarang berlayar
hitam.
“Sejak siang itu, aku belum menemui
ayah lagi. Bukankah ibu juga merindukannya? Mungkin besok pagi sebaiknya kita
pergi menemuinya,” ucap pemuda itu tiba-tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar