Sepucuk Surat Dari Penjara
Oleh Nuni Wahyuni
Oleh Nuni Wahyuni
Aku duduk di bangku
taman yang dipagari wewangian rumput dan melati. Menatap langit biru yang luas
mendekatkanku pada jiwa-jiwa para syuhada yang pergi dengan lapang. Nyanyian
burung diiringi suara aliran air terjun kecil yang gemericik membawa diriku
kembali pada saat aku dipertemukan dengan seorang pria yang selalu
menghembuskan nafas kehidupan ketika suara baritonnya dengan syahdu melantunkan
ayat-ayat suci yang telah terpatri dengan kekal di dalam hatinya. Seorang pria
yang memberiku sepucuk surat yang telah membawaku pada muara kebahagiaan.
***
Aku berusia dua
puluh tujuh tahun saat para polisi menggedor pintu rumah kontrakanku dengan
kasar, menggiringku menuju sel tahanan dan menyeretku seperti anjing kudis
pesakitan. Sebagai seorang aktivis, aku harus siap dengan apa yang aku hadapi
hari ini. Hidup di balik jeruji besi, kehilangan kebebasan, mengahadapi hukuman
dan penyiksaan sampai kemungkinan yang paling ditakuti oleh hampir semua orang,
yaitu kematian. Tulisanku dalam blog dan media masa membuat para petinggi
negeri merasa perlu memenjarakan seorang mahasiswa miskin yang dianggap akan
mengganggu kestabilan pemerintahan karena telah berani mengkritik para pejabat
yang hidup di dalam bangunan megah yang dibangun di tengah kesengsaraan rakyat.
Pemerintahan bertangan besi ini telah membuat sebagian kaum intelek menjadi orang-orang
“buta, bisu, tuli serta lumpuh” dan sebagian lainnya menjadi singa-singa yang
digiring secara paksa menuju tempat pengasingan atau tempat penjagalan.
Aku digiring
menuju sebuah rumah tahanan yang cukup dikenal oleh semua orang. Sebuah penjara
bagi para tahanan politik yang di dalamnya disediakan berbagai siksaan hingga
hukuman mati dilaksanakan. Tanganku masih diborgol ketika aku didorong kedalam
sel kecil yang pengap dan pesing. Mataku belum mampu beradaptasi dengan kondisi
ruangan yang remang. Semenit kemudian, aku menyadari bahwa aku tidak seorang
diri dalam sel ini. Aku melihat seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun
yang menggunakan baju tahanan berwarna biru tua. Pria itu memiliki wajah oval.
Pada keningnya terdapat bulatan biru yang menandakan ketaatannya untuk selalu
bersujud siang dan malam. Matanya bulat, tajam, lembut dan memiliki banyak
kerutan. Bibirnya tipis sedikit menghitam. Hidungnya mancung namun terlihat
sedikit bengkok akibat patah. Pada lengannya yang terbuka dapat kulihat
beberapa luka memar.
Pria itu
tersenyum, kemudian berjalan terpincang mendekatiku. Aku dapat merasakan hawa
sejuk ketika dia mengusap rambutku dan mencoba membangunkanku. Kurasakan tangannya
seperti kulit kayu ketika dia meraba tanganku yang diborgol.
“Tenanglah,
sebentar lagi penjaga akan membawakan kuncinya. insyaAllah, saya akan membantu
melepaskan borgol itu.” Ucap pria tua sambil mendekati jeruji besi.
Tak berapa lama
seorang penjaga mendekati sel kami. Dia tersenyum kepada pria tua lalu
memberikan kunci borgol dengan sopan. Aku tertegun. “Perlakuan penjaga ini
benar-benar berbeda dengan orang-orang yang menggiringku tadi. Dia begitu sopan
dan tak sedikitpun menunjukkan kebengisan.” Ucapku dalam hati.
Sambil membawa
kunci di tangannya, pria tua itu mendekatiku dan melepaskan borgol yang
membelenggu kedua tanganku. Pria itu kembali berjalan terpincang mendekati
pintu sel lalu menyerahkan kunci dan borgol kepada penjaga yang berdiri di balik
jeruji. Meski tanpa kata-kata dari mulut penjaga itu, aku dapat melihat rasa
takzim yang tersirat dari wajah sang penjaga terhadap pria tua didepannya.
Penjaga itu kemudian pergi setelah mengangguk dan tersenyum ramah kepadaku.
Pria tua itu
duduk di depanku. Matanya yang tajam tapi lembut memberikan kehangatan di tengah-tengah
udara penjara yang dingin. Aku tertegun mengamati wajah tua di depanku. Wajah
itu tak asing. Wajah itu adalah wajah yang pernah kulihat beberapa tahun lalu.
Wajah yang menjadi topik utama di beberapa media masa pada saat penangkapannya.
Aku tersentak, tersadar tentang siapa nama di balik wajah di hadapanku.
“Afwan, apakah
anda Prof. Ibrahim Sulaiman?”
Pria itu
tersenyum. Senyumnya bagaikan pohon rimbun di tengah taman gersang. Memberi
kesejukan bagi setiap orang yang ingin berteduh di bawahnya. Menjadi habitat
dari tupai dan serangga yang berlindung pada setiap dahannya. Senyum itu,
sungguh bersahaja. Tanpa perlu berkata dia mampu meyakinkan setiap orang dengan
tatapan tajam nan lembut dihiasi senyum tulus yang tersungging di bibirnya.
“Iya, saya
adalah orang yang Akhi maksud. Akhi siapa? Kenapa Akhi
dibawa dan ditahan di sini?” Ucapnya dengan lembut.
Aku terenyuh
saat mendengar dia menyapaku dengan sebutan akhi. Setidaknya di penjara
yang dingin, pengap, pesing dan gelap ini, aku telah bertemu dengan orang yang
luar biasa, bahkan dia menganggapku sebagai saudara dengan memanggilku akhi.
Prof Ibrahim Sulaiman adalah seorang intelektual kharismatik yang memiliki pengaruh
kuat karena pemikirannya. Dia juga begitu dihormati dan dikagumi oleh murid dan
masyarakat di sekitarnya. Sosok tua di hadapanku bukanlah orang biasa. Dia adalah
oase bagi negeri yang tandus dan gersang ini. Dia adalah kesatria
intelektual yang berani maju di garda terdepan untuk menumpas segala bentuk
kedzaliman. Dialah matahari, yang selalu dinantikan oleh negeri ini. Matahari
yang senantiasa memberikan cahaya. Matahari yang memberi kemudahan dalam
menentukan arah jalan. Meski kini matahari itu ditutup oleh sangkar yang begitu
besar tapi sangkar itu tak akan pernah mampu menutupi seluruh cahaya matahari
yang telah terlanjur bersinar.
“Saya
Abdurrahman. Saya dibawa kesini karena tulisan saya di blog dan media masa yang
dianggap terlalu tajam dalam mengkritik pemerintahan. Dalam surat penangkapan
yang saya baca, saya juga dituduh melakukan pemberontakkan. Para petugas yang
menggiring saya mengatakan bahwa keluarga saya juga akan ditahan karena saya
dianggap sebagai pengkhianat negara.” Ucapku sambil menunduk lesu.
“Tenanglah Akhi,
InsyaAllah tidak akan terjadi apa-apa dengan keluargamu. Yakinlah bahwa Allah
senantiasa melindungi orang-orang yang beriman dan bertakwa. Biarkan matamu
yang selalu basah karena cinta pada-Nya menyaksikan bagaimana suatu saat
keadilan ditegakkan. Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kesabaran.”
Ucapannya
adalah oksigen ditengah udara yang pengap. Sesak di dadaku karena rasa khawatir
dibasuh oleh kata-katanya yang mengalir dengan lembut dan menyejukkan. Di balik
jeruji ini, aku bersyukur karena telah dipertemukan dengan sosok yang begitu
dihormati oleh berbagai golongan di setiap sudut negeri. Namanya adalah simbol
kekuatan bagi kaum intelektual yang di penjara karena berusaha membela
kebenaran.
Seorang penjaga
berwajah masam mendekati sel kami. Dia menyeret seorang pria yang terkulai
lemas dan penuh luka kemudian mendorongnya kedalam sel. Penjaga itu lalu pergi
tanpa menghiraukan kami yang menatap pria penuh luka itu dengan pandangan
simpati.
Prof. Ibrahim
mendekati pria berlumuran darah itu. Kaki kanan pria itu penuh dengan luka
goresan benda tajam. Tangan kanannya patah. Memar kebiruan menutupi hampir
seluruh wajahnya. Kulit yang sebenarnya putih itu kini lebih didominasi oleh
warna merah dan biru kehitaman. Saat ku mendekatinya, bau anyir darah langsung menyeruak
menusuk hidung. Syaraf-syarafku yang belum terbiasa dengan anyir darah membuat
kepalaku pusing dan perutku terasa diaduk-aduk dengan kencang. Prof. Ibrahim mengobati
pria itu dengan peralatan seadanya. Aku yang mulai bisa mengontrol diri
membantu sebisa mungkin mengobati pria yang penuh luka di depanku.
“Dia bernama
Muhammad Iqbal. Kasusnya hampir sama sepertimu. Dia adalah aktivis muda yang
merupakan harapan bagi negeri ini. Tadi pagi dia dipanggil oleh penjaga yang
sering ditugaskan untuk menyiksa kami. Tak kusangka lukanya akan separah ini.”
Ucapnya sambil terus membersihkan luka-luka pada kaki pemuda yang bernama Iqbal
tersebut.
“Apakah semua
tahanan di sini adalah tahanan politik? Dan apakah semua tahanan mengalami
penyiksaan seperti ini?” Tanyaku sambil menatap pemuda yang penuh darah di depanku.
Prof. Ibrahim
mampu membaca ketakutanku. Dia menatapku dan kemudian tersenyum. “Tidak semua,
tapi memang kebanyakan tahanan disini adalah tahanan politik dan hampir semua
tahanan politik mengalami penyiksaan.” Dia menghirup nafas sebentar, matanya
yang telah menua memancarkan semangat yang tak pernah pudar. Dia kembali
menyunggingkan senyumnya yang bersahaja, “tenanglah Akhi, Allah akan
melindungi kita. Sakit yang kita rasakan di sini akan Allah balas dengan
kenikmatan di akhirat jika kita mampu untuk bersabar. Saya yakin wajahmu yang
bercahaya itu menunjukkan bahwa Akhi adalah orang yang kuat dengan hati
yang suci.”
Setelah Iqbal sadar,
Prof. Ibrahim mengenalkanku padanya. Iqbal menceritakan kisah perjuangannya, tentang
kegiatan dakwahnya yang dinilai terlalu berani, saat dia ditangkap, diancam,
digiring ke penjara, dan saat-saat dia mengalami penyiksaan baik fisik maupun
psikis yang dilakukan oleh para penjaga. Mendengar kisahnya sama halnya dengan
membaca kisahku sendiri. Kisah lalu dan kisah yang akan kuhadapi. Kini ku
berusaha menguatkan diri agar aku mampu menghadapi segala hal yang akan ku
alami.
Minggu ke tiga
aku mengalami penyiksaan itu. Aku digiring kesebuah ruangan dengan cahaya yang
remang. Di tengah ruangan itu tanganku digantungkan pada sebuah besi panjang
dibawah langit-langit ruangan. Di hadapanku berdiri dua pria bertubuh kekar dan
seorang pria bertubuh tambun. Pria tambun yang berdiri didepanku memaksaku
untuk meminta maaf kepada pemerintah melalui media masa. Dia menyuruhku menarik
semua tulisanku dan menutup blog yang kumilki. Setiap kali aku menolak atau
diam, beberapa cambukkan keras mengenai punggungku yang telanjang. Terkadang
sebuah tamparan dan pukulan keras dilayangkan kedua pria bertubuh kekar hingga
pelipisku berdarah dan daguku serasa patah. Selanjutnya dua buah kayu balok
disilangkan pada kakiku yang terikat. Kedua pria bertubuh kekar menarik balok
itu secara bersilangan membuat kedua kakiku merenggang. Tak ada jeritan. Aku
berusaha menahan sakit dengan menggigit bibirku hingga berdarah. Kesal karena
aku yang terus membisu, mereka mengeluarkan cambuk listrik dan menyetrumkan
cambuk itu ke punggungku yang sudah memerah. Akhirnya, aku menjerit kesakitan. Dengan
tertawa puas, para penyiksa itu kembali mencambuk punggungku. Tatapanku kini
mulai kabur. Suara tawa dan kata-kata kasar dari mulut para penyiksa kini mulai
terdengar samar. Aku berusaha menguatkan diriku namun kepalaku terasa
melayang-layang. Pada cambukkan listrik yang ketiga aku menjerit lemah kemudian
semua terasa gelap dan kosong.
Ketika mataku
terbuka aku telah berada didalam sel. Prof. Ibrahim sedang membersihkan dan
mengobati luka dikaki kiriku. Aku berusaha bangun. Seluruh persendianku terasa
ngilu. Kulit punggungku serasa terbakar. Wajahku seakan telah disayat oleh
belati berkarat. Kakiku terlanjur mati rasa. Aku duduk dengan lemah. Prof.
Ibrahim menopang tubuhku agar tak ambruk kebawah.
“Di mana Iqbal
Prof?” Tanyaku setelah menyadari Iqbal tak berada di dalam sel.
“Dia telah
pergi mendahului kita menjadi syuhada. Dia adalah pemuda yang tangguh dan kuat.
Tadi pagi setelah Akhi dibawa para penjaga, dia dibawa ketempat
eksekusi. Sebelum pergi, dia berpesan agar kita terus berjuang dan tidak boleh
kalah oleh kedzaliman. Dia ingin disetiap shalat kita berdo’a semoga kita
bertiga dipersaudarakan di dalam surga.”
Mendengar hal
itu air mataku mengalir perlahan. Aku teringat tiga minggu kebersamaan kami
dalam sel yang senantiasa dihiasi oleh semangat untuk menghancurkan segala
bentuk kedzaliman. “Dengarlah saudaraku, sesungguhnya Allah senantiasa bersama
orang-orang yang sabar. Jangan pernah kau menjadikan dirimu hina karena rasa
putus asamu. Aku yakin kau adalah orang yang kuat.” Pesan iqbal saat tadi pagi
aku diseret ketempat penyiksaan.
Rasa sakitku
menjadi hilang. Pesannya telah mengobati luka dan menyulut api keberanian dalam
diriku untuk melanjutkan perjuangan. Aku dipapah oleh Prof. Ibrahim kesudut
penjara untuk bertayamum kemudian melaksanakan shalat ghaib untuknya.
Pada shalat
tahajud malam ini, Prof. Ibrahim menjadi imam. Kami bersujud lebih lama dari
biasanya. Saat berdo’a, Prof. Ibrahim memohon agar beliau, aku, iqbal dan para
syuhada dipersatukan oleh Allah dalam surga sebagai saudara.
Enam bulan
kemudian Prof. Ibrahim dieksekusi. Hal
ini menyulut kemarahan para pengikutnya, bahkan hampir semua kalangan mengecam
eksekusi ini. Terjadi pemberontakkan di mana-mana. Kematian Prof. Ibrahim
menjadi sebuah pukulan besar sekaligus air bah yang justru menghentakkan
semangat seluruh rakyat. Setiap wilayah menjadi medan perang antara rakyat dan
rezim yang berdaulat. Kemarahan nampak disetiap daerah. Eksekusi Prof. Ibrahim
membuat seluruh rakyat bersatu. Rakyat menjadi kuat seperti gerombolan semut
yang berhasil menggulingkan kekuasaan kumbang-kumbang yang congkak. Terjadi
revolusi besar-besaran. Rakyat kini berdaulat. Seorang pemimpin kharismatik,
murid Prof. Ibrahim yang dibebaskan dari penjara diangkat menjadi presiden.
Seluruh tahanan yang tak terbukti bersalah dibebaskan. Negara kembali
ditegakkan dan sang presiden terpilih berusaha menumpas segala bentuk
kedzaliman.
Sebelum Prof.
Ibrahim dieksekusi, dia sempat memberiku sepucuk surat dan memintaku memberikan
surat itu kepada satu-satunya putri yang dia miliki. Seperti tahu apa yang akan
terjadi, dia berpesan agar aku menyerahkan secara langsung surat itu kepada
putrinya setelah aku bebas dari penjara. Melalui bantuan penjaga penjara ramah
yang ternyata muridnya, aku diantar bertemu dengan putri Prof. Ibrahim.
Di sebuah rumah
sederhana di sudut kota, aku melihat wajah yang bercahaya. Wajah putri dari
seorang ulama yang kuat, sabar, suci, dan penuh dengan ketulusan. Meski ingin,
aku tak bisa memandangnya berlama-lama. Dirinya terlalu suci untuk kunodai
dengan pandangan nafsu yang membuat orang-orang menjadi lemah keimanannya.
Kuberikan surat dari Prof. Ibrahim kepadanya. Dengan tangan gemetar dia
menerima surat itu kemudian membacanya. Air matanya mengalir perlahan namun
bibirnya menyungginkan senyuman. Tampak wajah itu seumpama bintang yang
kemerahan. Bintang yang semakin bersinar dalam gelap malam. Dia menatapku
hingga pandangan kami bertemu.
“Bacalah!”
ucapnya lembut seraya menunduk.
Kubaca surat
yang kini ada di tanganku. Aku terkejut dengan isi surat itu. Kulihat gadis
suci didepanku mengangguk. Aku menangis dan bertakbir berkali-kali.
***
Dari langit
tatapanku beralih kepada pria kecil yang sibuk membaca buku sambil sesekali
bertanya. Dia duduk di depanku dan menyender manja kepada wanita di sampingnya.
Terkadang keduanya tertawa bersama. Tawa mereka bukanlah tawa keras dan kasar.
Tawa mereka seperti lantunan melodi yang merdu yang membuat orang disekitarnya
bahagia.
“Kertas apa itu
bi?” Tanya pria kecil itu ketika melihat kertas lusuh dalam genggamanku.
“Ini adalah
surat yang mempersatukan Abi dan Umimu sayang.” Jawabku sambil tersenyum.
“Boleh aku
membacanya?” Tanyanya sambil mendekat kearahku.
“Tidak untuk
sekarang. Suatu saat setelah kau mengerti, Abi akan membacakan dan menceritakan
kisah dibalik surat ini.”
Wanita bermata
bulat, tajam dan lembut yang tadi duduk disampingnya mendekat kearah kami.
“Sebagai
gantinya, bagaimana jika Umi ceritakan kisah perjuangan sahabat nabi?” tanyanya
sambil duduk di sampingku.
Pria kecil yang
ditanyanya merasa senang. Wanita di sampingku menceritakan kisah perjuangan
tentang Bilal bin Rab’ah. Pria kecil di sampingnya dengan serius mendengarkan
namun sesekali bertanya dan berkomentar. Aku tersenyum melihat anak dan istriku
yang sedang berlayar mengarungi kisah sahabat nabi yang kehidupannya penuh
dengan perjuangan. Kembali aku membuka kertas lusuh di tanganku. Takbir terus
bertalu dalam hatiku.
Teruntuk Putriku
Ditempat yang Allah
Muliakan
Semoga Allah senantiasa
melindungi dan memberimu kedamaian. Amin.
Anakku, ketika kau membaca
surat ini mungkin Abi telah dieksekusi. Do’akanlah, semoga Abi dipertemukan
dengan Rasulullah dan para syuhada sebagai saudara.
Anakku, jangan bersedih
karena kepergian Abi. Sungguh, Abi merasa bahagia karena di sini abi dipertemukan
dengan para syuhada. Abi juga sangat rindu untuk segera bertemu dengan-Nya.
Anakku, melalui surat yang
singkat ini abi ingin memberitahukan bahwa laki-laki yang ada di hadapanmu saat
ini bukanlah laki-laki biasa. Bagi Abi dia adalah teman, anak, sekaligus
saudara. Enam bulan Abi hidup di balik jeruji bersamanya, Abi mampu merasakan
adanya kesucian yang terpahat kuat di dalam hatinya. Dia adalah pria yang kuat,
mampu menjaga, serta membawamu menuju kepada Ridha-Nya.
Anakku, sebelum Abi pergi,
Abi telah menitipkanmu padanya. Namun Abi takut, akan menjadi dosa besar
apabila dia menjagamu sedangkan kamu bukanlah muhrimnya. Karena itu, Abi ingin
kamu menikah dengannya. Abi yakin dia akan menjadi sosok laki-laki yang
dibutuhkan oleh negeri ini. Jadilah istrinya yang setia. Temani dia menghadapi
lika-liku perjuangannya. Lahirkanlah anak-anak yang mampu memberi manfa’at bagi
orang-orang disekitar mereka.
Anakku, Abi tak ingin
memaksamu untuk menikah dengannya. Jika kamu tidak setuju dengan pilihan Abi,
kamu boleh menyimpan surat ini untuk dirimu sendiri dan lupakan apa yang Abi
tuliskan di dalamnya. Namun, jika kamu setuju kembalikanlah surat ini kepada
laki-laki yang mengantarkannya.
Untuk Abdurrahman
Akhi, seperti yang pernah
kukatakan, aku ingin kau membantuku menjaga putriku. Aku tak ingin kau
menjaganya tanpa ada ikatan. Maka, aku harap kau mau menjadikan putriku sebagi
istrimu. Aku tidak ingin tali ukhuwah
kita hanya sebatas teman senasib di penjara. Aku ingin kau menjadi suami
darinya.
Akhi, aku tidak mau memaksamu.
Jika kau tidak berkenan dengan keinginanku, maka carikanlah putriku seorang
suami yang mampu menjaganya. Suami yang mampu menuntun dia menuju surga-Nya.
Suami yang kuat imannya seperti kekuatanmu yang telah kulihat di penjara.
Ibrahim Sulaiman
Bandung,
02 Februari 2013. Pkl. 22.56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar