Minggu, 05 Mei 2013

Sepucuk Surat Dari Penjara_Cerpen Islami


Sepucuk Surat Dari Penjara
Oleh Nuni Wahyuni
Aku duduk di bangku taman yang dipagari wewangian rumput dan melati. Menatap langit biru yang luas mendekatkanku pada jiwa-jiwa para syuhada yang pergi dengan lapang. Nyanyian burung diiringi suara aliran air terjun kecil yang gemericik membawa diriku kembali pada saat aku dipertemukan dengan seorang pria yang selalu menghembuskan nafas kehidupan ketika suara baritonnya dengan syahdu melantunkan ayat-ayat suci yang telah terpatri dengan kekal di dalam hatinya. Seorang pria yang memberiku sepucuk surat yang telah membawaku pada muara kebahagiaan.
***
Aku berusia dua puluh tujuh tahun saat para polisi menggedor pintu rumah kontrakanku dengan kasar, menggiringku menuju sel tahanan dan menyeretku seperti anjing kudis pesakitan. Sebagai seorang aktivis, aku harus siap dengan apa yang aku hadapi hari ini. Hidup di balik jeruji besi, kehilangan kebebasan, mengahadapi hukuman dan penyiksaan sampai kemungkinan yang paling ditakuti oleh hampir semua orang, yaitu kematian. Tulisanku dalam blog dan media masa membuat para petinggi negeri merasa perlu memenjarakan seorang mahasiswa miskin yang dianggap akan mengganggu kestabilan pemerintahan karena telah berani mengkritik para pejabat yang hidup di dalam bangunan megah yang dibangun di tengah kesengsaraan rakyat. Pemerintahan bertangan besi ini telah membuat sebagian kaum intelek menjadi orang-orang “buta, bisu, tuli serta lumpuh” dan sebagian lainnya menjadi singa-singa yang digiring secara paksa menuju tempat pengasingan atau tempat penjagalan.
Aku digiring menuju sebuah rumah tahanan yang cukup dikenal oleh semua orang. Sebuah penjara bagi para tahanan politik yang di dalamnya disediakan berbagai siksaan hingga hukuman mati dilaksanakan. Tanganku masih diborgol ketika aku didorong kedalam sel kecil yang pengap dan pesing. Mataku belum mampu beradaptasi dengan kondisi ruangan yang remang. Semenit kemudian, aku menyadari bahwa aku tidak seorang diri dalam sel ini. Aku melihat seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun yang menggunakan baju tahanan berwarna biru tua. Pria itu memiliki wajah oval. Pada keningnya terdapat bulatan biru yang menandakan ketaatannya untuk selalu bersujud siang dan malam. Matanya bulat, tajam, lembut dan memiliki banyak kerutan. Bibirnya tipis sedikit menghitam. Hidungnya mancung namun terlihat sedikit bengkok akibat patah. Pada lengannya yang terbuka dapat kulihat beberapa luka memar.
Pria itu tersenyum, kemudian berjalan terpincang mendekatiku. Aku dapat merasakan hawa sejuk ketika dia mengusap rambutku dan mencoba membangunkanku. Kurasakan tangannya seperti kulit kayu ketika dia meraba tanganku yang diborgol.
“Tenanglah, sebentar lagi penjaga akan membawakan kuncinya. insyaAllah, saya akan membantu melepaskan borgol itu.” Ucap pria tua sambil mendekati jeruji besi.
Tak berapa lama seorang penjaga mendekati sel kami. Dia tersenyum kepada pria tua lalu memberikan kunci borgol dengan sopan. Aku tertegun. “Perlakuan penjaga ini benar-benar berbeda dengan orang-orang yang menggiringku tadi. Dia begitu sopan dan tak sedikitpun menunjukkan kebengisan.” Ucapku dalam hati.
Sambil membawa kunci di tangannya, pria tua itu mendekatiku dan melepaskan borgol yang membelenggu kedua tanganku. Pria itu kembali berjalan terpincang mendekati pintu sel lalu menyerahkan kunci dan borgol kepada penjaga yang berdiri di balik jeruji. Meski tanpa kata-kata dari mulut penjaga itu, aku dapat melihat rasa takzim yang tersirat dari wajah sang penjaga terhadap pria tua didepannya. Penjaga itu kemudian pergi setelah mengangguk dan tersenyum ramah kepadaku.
Pria tua itu duduk di depanku. Matanya yang tajam tapi lembut memberikan kehangatan di tengah-tengah udara penjara yang dingin. Aku tertegun mengamati wajah tua di depanku. Wajah itu tak asing. Wajah itu adalah wajah yang pernah kulihat beberapa tahun lalu. Wajah yang menjadi topik utama di beberapa media masa pada saat penangkapannya. Aku tersentak, tersadar tentang siapa nama di balik wajah di hadapanku.
“Afwan, apakah anda Prof. Ibrahim Sulaiman?”
Pria itu tersenyum. Senyumnya bagaikan pohon rimbun di tengah taman gersang. Memberi kesejukan bagi setiap orang yang ingin berteduh di bawahnya. Menjadi habitat dari tupai dan serangga yang berlindung pada setiap dahannya. Senyum itu, sungguh bersahaja. Tanpa perlu berkata dia mampu meyakinkan setiap orang dengan tatapan tajam nan lembut dihiasi senyum tulus yang tersungging di bibirnya.
“Iya, saya adalah orang yang Akhi maksud. Akhi siapa? Kenapa Akhi dibawa dan ditahan di sini?” Ucapnya dengan lembut.
Aku terenyuh saat mendengar dia menyapaku dengan sebutan akhi. Setidaknya di penjara yang dingin, pengap, pesing dan gelap ini, aku telah bertemu dengan orang yang luar biasa, bahkan dia menganggapku sebagai saudara dengan memanggilku akhi. Prof Ibrahim Sulaiman adalah seorang intelektual kharismatik yang memiliki pengaruh kuat karena pemikirannya. Dia juga begitu dihormati dan dikagumi oleh murid dan masyarakat di sekitarnya. Sosok tua di hadapanku bukanlah orang biasa. Dia adalah oase bagi negeri yang tandus dan gersang ini. Dia adalah kesatria intelektual yang berani maju di garda terdepan untuk menumpas segala bentuk kedzaliman. Dialah matahari, yang selalu dinantikan oleh negeri ini. Matahari yang senantiasa memberikan cahaya. Matahari yang memberi kemudahan dalam menentukan arah jalan. Meski kini matahari itu ditutup oleh sangkar yang begitu besar tapi sangkar itu tak akan pernah mampu menutupi seluruh cahaya matahari yang telah terlanjur bersinar.
“Saya Abdurrahman. Saya dibawa kesini karena tulisan saya di blog dan media masa yang dianggap terlalu tajam dalam mengkritik pemerintahan. Dalam surat penangkapan yang saya baca, saya juga dituduh melakukan pemberontakkan. Para petugas yang menggiring saya mengatakan bahwa keluarga saya juga akan ditahan karena saya dianggap sebagai pengkhianat negara.” Ucapku sambil menunduk lesu.
“Tenanglah Akhi, InsyaAllah tidak akan terjadi apa-apa dengan keluargamu. Yakinlah bahwa Allah senantiasa melindungi orang-orang yang beriman dan bertakwa. Biarkan matamu yang selalu basah karena cinta pada-Nya menyaksikan bagaimana suatu saat keadilan ditegakkan. Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kesabaran.”
Ucapannya adalah oksigen ditengah udara yang pengap. Sesak di dadaku karena rasa khawatir dibasuh oleh kata-katanya yang mengalir dengan lembut dan menyejukkan. Di balik jeruji ini, aku bersyukur karena telah dipertemukan dengan sosok yang begitu dihormati oleh berbagai golongan di setiap sudut negeri. Namanya adalah simbol kekuatan bagi kaum intelektual yang di penjara karena berusaha membela kebenaran.
Seorang penjaga berwajah masam mendekati sel kami. Dia menyeret seorang pria yang terkulai lemas dan penuh luka kemudian mendorongnya kedalam sel. Penjaga itu lalu pergi tanpa menghiraukan kami yang menatap pria penuh luka itu dengan pandangan simpati.
Prof. Ibrahim mendekati pria berlumuran darah itu. Kaki kanan pria itu penuh dengan luka goresan benda tajam. Tangan kanannya patah. Memar kebiruan menutupi hampir seluruh wajahnya. Kulit yang sebenarnya putih itu kini lebih didominasi oleh warna merah dan biru kehitaman. Saat ku mendekatinya, bau anyir darah langsung menyeruak menusuk hidung. Syaraf-syarafku yang belum terbiasa dengan anyir darah membuat kepalaku pusing dan perutku terasa diaduk-aduk dengan kencang. Prof. Ibrahim mengobati pria itu dengan peralatan seadanya. Aku yang mulai bisa mengontrol diri membantu sebisa mungkin mengobati pria yang penuh luka di depanku.
“Dia bernama Muhammad Iqbal. Kasusnya hampir sama sepertimu. Dia adalah aktivis muda yang merupakan harapan bagi negeri ini. Tadi pagi dia dipanggil oleh penjaga yang sering ditugaskan untuk menyiksa kami. Tak kusangka lukanya akan separah ini.” Ucapnya sambil terus membersihkan luka-luka pada kaki pemuda yang bernama Iqbal tersebut.
“Apakah semua tahanan di sini adalah tahanan politik? Dan apakah semua tahanan mengalami penyiksaan seperti ini?” Tanyaku sambil menatap pemuda yang penuh darah di depanku.
Prof. Ibrahim mampu membaca ketakutanku. Dia menatapku dan kemudian tersenyum. “Tidak semua, tapi memang kebanyakan tahanan disini adalah tahanan politik dan hampir semua tahanan politik mengalami penyiksaan.” Dia menghirup nafas sebentar, matanya yang telah menua memancarkan semangat yang tak pernah pudar. Dia kembali menyunggingkan senyumnya yang bersahaja, “tenanglah Akhi, Allah akan melindungi kita. Sakit yang kita rasakan di sini akan Allah balas dengan kenikmatan di akhirat jika kita mampu untuk bersabar. Saya yakin wajahmu yang bercahaya itu menunjukkan bahwa Akhi adalah orang yang kuat dengan hati yang suci.”
Setelah Iqbal sadar, Prof. Ibrahim mengenalkanku padanya. Iqbal menceritakan kisah perjuangannya, tentang kegiatan dakwahnya yang dinilai terlalu berani, saat dia ditangkap, diancam, digiring ke penjara, dan saat-saat dia mengalami penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh para penjaga. Mendengar kisahnya sama halnya dengan membaca kisahku sendiri. Kisah lalu dan kisah yang akan kuhadapi. Kini ku berusaha menguatkan diri agar aku mampu menghadapi segala hal yang akan ku alami.
Minggu ke tiga aku mengalami penyiksaan itu. Aku digiring kesebuah ruangan dengan cahaya yang remang. Di tengah ruangan itu tanganku digantungkan pada sebuah besi panjang dibawah langit-langit ruangan. Di hadapanku berdiri dua pria bertubuh kekar dan seorang pria bertubuh tambun. Pria tambun yang berdiri didepanku memaksaku untuk meminta maaf kepada pemerintah melalui media masa. Dia menyuruhku menarik semua tulisanku dan menutup blog yang kumilki. Setiap kali aku menolak atau diam, beberapa cambukkan keras mengenai punggungku yang telanjang. Terkadang sebuah tamparan dan pukulan keras dilayangkan kedua pria bertubuh kekar hingga pelipisku berdarah dan daguku serasa patah. Selanjutnya dua buah kayu balok disilangkan pada kakiku yang terikat. Kedua pria bertubuh kekar menarik balok itu secara bersilangan membuat kedua kakiku merenggang. Tak ada jeritan. Aku berusaha menahan sakit dengan menggigit bibirku hingga berdarah. Kesal karena aku yang terus membisu, mereka mengeluarkan cambuk listrik dan menyetrumkan cambuk itu ke punggungku yang sudah memerah. Akhirnya, aku menjerit kesakitan. Dengan tertawa puas, para penyiksa itu kembali mencambuk punggungku. Tatapanku kini mulai kabur. Suara tawa dan kata-kata kasar dari mulut para penyiksa kini mulai terdengar samar. Aku berusaha menguatkan diriku namun kepalaku terasa melayang-layang. Pada cambukkan listrik yang ketiga aku menjerit lemah kemudian semua terasa gelap dan kosong.
Ketika mataku terbuka aku telah berada didalam sel. Prof. Ibrahim sedang membersihkan dan mengobati luka dikaki kiriku. Aku berusaha bangun. Seluruh persendianku terasa ngilu. Kulit punggungku serasa terbakar. Wajahku seakan telah disayat oleh belati berkarat. Kakiku terlanjur mati rasa. Aku duduk dengan lemah. Prof. Ibrahim menopang tubuhku agar tak ambruk kebawah.
“Di mana Iqbal Prof?” Tanyaku setelah menyadari Iqbal tak berada di dalam sel.
“Dia telah pergi mendahului kita menjadi syuhada. Dia adalah pemuda yang tangguh dan kuat. Tadi pagi setelah Akhi dibawa para penjaga, dia dibawa ketempat eksekusi. Sebelum pergi, dia berpesan agar kita terus berjuang dan tidak boleh kalah oleh kedzaliman. Dia ingin disetiap shalat kita berdo’a semoga kita bertiga dipersaudarakan di dalam surga.”
Mendengar hal itu air mataku mengalir perlahan. Aku teringat tiga minggu kebersamaan kami dalam sel yang senantiasa dihiasi oleh semangat untuk menghancurkan segala bentuk kedzaliman. “Dengarlah saudaraku, sesungguhnya Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Jangan pernah kau menjadikan dirimu hina karena rasa putus asamu. Aku yakin kau adalah orang yang kuat.” Pesan iqbal saat tadi pagi aku diseret ketempat penyiksaan.
Rasa sakitku menjadi hilang. Pesannya telah mengobati luka dan menyulut api keberanian dalam diriku untuk melanjutkan perjuangan. Aku dipapah oleh Prof. Ibrahim kesudut penjara untuk bertayamum kemudian melaksanakan shalat ghaib untuknya.
Pada shalat tahajud malam ini, Prof. Ibrahim menjadi imam. Kami bersujud lebih lama dari biasanya. Saat berdo’a, Prof. Ibrahim memohon agar beliau, aku, iqbal dan para syuhada dipersatukan oleh Allah dalam surga sebagai saudara.
Enam bulan kemudian  Prof. Ibrahim dieksekusi. Hal ini menyulut kemarahan para pengikutnya, bahkan hampir semua kalangan mengecam eksekusi ini. Terjadi pemberontakkan di mana-mana. Kematian Prof. Ibrahim menjadi sebuah pukulan besar sekaligus air bah yang justru menghentakkan semangat seluruh rakyat. Setiap wilayah menjadi medan perang antara rakyat dan rezim yang berdaulat. Kemarahan nampak disetiap daerah. Eksekusi Prof. Ibrahim membuat seluruh rakyat bersatu. Rakyat menjadi kuat seperti gerombolan semut yang berhasil menggulingkan kekuasaan kumbang-kumbang yang congkak. Terjadi revolusi besar-besaran. Rakyat kini berdaulat. Seorang pemimpin kharismatik, murid Prof. Ibrahim yang dibebaskan dari penjara diangkat menjadi presiden. Seluruh tahanan yang tak terbukti bersalah dibebaskan. Negara kembali ditegakkan dan sang presiden terpilih berusaha menumpas segala bentuk kedzaliman.
Sebelum Prof. Ibrahim dieksekusi, dia sempat memberiku sepucuk surat dan memintaku memberikan surat itu kepada satu-satunya putri yang dia miliki. Seperti tahu apa yang akan terjadi, dia berpesan agar aku menyerahkan secara langsung surat itu kepada putrinya setelah aku bebas dari penjara. Melalui bantuan penjaga penjara ramah yang ternyata muridnya, aku diantar bertemu dengan putri Prof. Ibrahim.
Di sebuah rumah sederhana di sudut kota, aku melihat wajah yang bercahaya. Wajah putri dari seorang ulama yang kuat, sabar, suci, dan penuh dengan ketulusan. Meski ingin, aku tak bisa memandangnya berlama-lama. Dirinya terlalu suci untuk kunodai dengan pandangan nafsu yang membuat orang-orang menjadi lemah keimanannya. Kuberikan surat dari Prof. Ibrahim kepadanya. Dengan tangan gemetar dia menerima surat itu kemudian membacanya. Air matanya mengalir perlahan namun bibirnya menyungginkan senyuman. Tampak wajah itu seumpama bintang yang kemerahan. Bintang yang semakin bersinar dalam gelap malam. Dia menatapku hingga pandangan kami bertemu.
“Bacalah!” ucapnya lembut seraya menunduk.
Kubaca surat yang kini ada di tanganku. Aku terkejut dengan isi surat itu. Kulihat gadis suci didepanku mengangguk. Aku menangis dan bertakbir berkali-kali.
***
Dari langit tatapanku beralih kepada pria kecil yang sibuk membaca buku sambil sesekali bertanya. Dia duduk di depanku dan menyender manja kepada wanita di sampingnya. Terkadang keduanya tertawa bersama. Tawa mereka bukanlah tawa keras dan kasar. Tawa mereka seperti lantunan melodi yang merdu yang membuat orang disekitarnya bahagia.
“Kertas apa itu bi?” Tanya pria kecil itu ketika melihat kertas lusuh dalam genggamanku.
“Ini adalah surat yang mempersatukan Abi dan Umimu sayang.” Jawabku sambil tersenyum.
“Boleh aku membacanya?” Tanyanya sambil mendekat kearahku.
“Tidak untuk sekarang. Suatu saat setelah kau mengerti, Abi akan membacakan dan menceritakan kisah dibalik surat ini.”
Wanita bermata bulat, tajam dan lembut yang tadi duduk disampingnya mendekat kearah kami.
“Sebagai gantinya, bagaimana jika Umi ceritakan kisah perjuangan sahabat nabi?” tanyanya sambil duduk di sampingku.
Pria kecil yang ditanyanya merasa senang. Wanita di sampingku menceritakan kisah perjuangan tentang Bilal bin Rab’ah. Pria kecil di sampingnya dengan serius mendengarkan namun sesekali bertanya dan berkomentar. Aku tersenyum melihat anak dan istriku yang sedang berlayar mengarungi kisah sahabat nabi yang kehidupannya penuh dengan perjuangan. Kembali aku membuka kertas lusuh di tanganku. Takbir terus bertalu dalam hatiku.
Teruntuk Putriku
Ditempat yang Allah Muliakan

Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberimu kedamaian. Amin.
Anakku, ketika kau membaca surat ini mungkin Abi telah dieksekusi. Do’akanlah, semoga Abi dipertemukan dengan Rasulullah dan para syuhada sebagai saudara.
Anakku, jangan bersedih karena kepergian Abi. Sungguh, Abi merasa bahagia karena di sini abi dipertemukan dengan para syuhada. Abi juga sangat rindu untuk segera bertemu dengan-Nya.
Anakku, melalui surat yang singkat ini abi ingin memberitahukan bahwa laki-laki yang ada di hadapanmu saat ini bukanlah laki-laki biasa. Bagi Abi dia adalah teman, anak, sekaligus saudara. Enam bulan Abi hidup di balik jeruji bersamanya, Abi mampu merasakan adanya kesucian yang terpahat kuat di dalam hatinya. Dia adalah pria yang kuat, mampu menjaga, serta membawamu menuju kepada Ridha-Nya.
Anakku, sebelum Abi pergi, Abi telah menitipkanmu padanya. Namun Abi takut, akan menjadi dosa besar apabila dia menjagamu sedangkan kamu bukanlah muhrimnya. Karena itu, Abi ingin kamu menikah dengannya. Abi yakin dia akan menjadi sosok laki-laki yang dibutuhkan oleh negeri ini. Jadilah istrinya yang setia. Temani dia menghadapi lika-liku perjuangannya. Lahirkanlah anak-anak yang mampu memberi manfa’at bagi orang-orang disekitar mereka.
Anakku, Abi tak ingin memaksamu untuk menikah dengannya. Jika kamu tidak setuju dengan pilihan Abi, kamu boleh menyimpan surat ini untuk dirimu sendiri dan lupakan apa yang Abi tuliskan di dalamnya. Namun, jika kamu setuju kembalikanlah surat ini kepada laki-laki yang mengantarkannya.

Untuk Abdurrahman
Akhi, seperti yang pernah kukatakan, aku ingin kau membantuku menjaga putriku. Aku tak ingin kau menjaganya tanpa ada ikatan. Maka, aku harap kau mau menjadikan putriku sebagi istrimu. Aku tidak ingin  tali ukhuwah kita hanya sebatas teman senasib di penjara. Aku ingin kau menjadi suami darinya.
Akhi, aku tidak mau memaksamu. Jika kau tidak berkenan dengan keinginanku, maka carikanlah putriku seorang suami yang mampu menjaganya. Suami yang mampu menuntun dia menuju surga-Nya. Suami yang kuat imannya seperti kekuatanmu yang telah kulihat di penjara.

Ibrahim Sulaiman



Bandung, 02 Februari 2013. Pkl. 22.56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar