Cinta dan Rindu Allah
Oleh: Nuni Wahyuni
Oleh: Nuni Wahyuni
Ada apa?
Hati ini bergemuruh dahsyat
Kaki dan tangan ini bergetar hebat.
Ada apa?
Ini bukan perkara biasa
Kita berbincang tentang shalat
Anak itu menjawab:
Aku Cinta dan Rindu Allah
(Hilman dalam majalah “Relikui Kehidupan”)
***
“Asyhaduallaa
Ilaahaillallah Waasyhaduanna Muhammadarrasulullah.”
Puluhan orang
di masjid kecil di tengah kota itu
mengucap hamdalah dengan serentak. Senyum bahagia terukir di wajah orang-orang
yang duduk melingkar. Mata mereka dengan lembut menatap seorang anak berusia
dua belas tahun yang kini tengah dipeluk oleh seorang pria setengah baya.
Beberapa orang mengeluarkan air mata. Bahkan ada beberapa orang yang menangis
terisak sambil terus bertahmid. Secara bergantian para pria yang berasal dari
berbagai suku bangsa itu bersalaman dan memeluk anak yang saat ini menjadi
pusat perhatian. Seorang anak berambut pirang, bermata biru, berkulit khas
kaukasoid itu juga tak berhenti mengucapkan tahmid. Wajahnya memerah karena
tangis kebahagiaan.
Setiap orang
kembali ke tempatnya masing-masing. Anak itu berdiri, didampingi pria setengah
baya yang tadi membantunya mengucapkan syahadat.
“Saudara-saudaraku,
hari ini kita telah menjadi saksi bahwa anak yang berdiri disampingku ini
adalah seorang muslim. Berkat rasa cinta dan rindu yang menggebu kepada Allah,
Tuhannya, dia memutuskan untuk menjadi bagian dari kita. Bagian dari umat
Muhammad saw. bagian dari golongan orang-orang yang beriman kepada Allah. Dia,
Cody Imanuel, saat ini telah mengganti namanya menjadi Muhammad Rif’atul Hamdi.
Panggil anak muda ini Ahmad, agar dia merasa dekat dengan orang yang dia
cintai.” Ucap pria setengah baya itu sambil memandang ke arah orang-orang
disekelilingnya.
Bagi Cody yang
kini telah mendapat nama baru, ini adalah hari yang luar biasa. Tidak pernah
sekalipun dia bayangkan, dia menjadi bagian dari orang islam. Dia menjadi
saudara bagi muslim lainnya. Dia menjadi saudara bagi muslim Arab, muslim
Palestina, muslim Mesir dan muslim di tempat tinggalnya. Amerika.
***
Para
remaja tanggung itu sedang asyik menikmati waktu istirahat makan siangnya.
Beberapa anak tetap duduk di kelas, asyik memainkan gadgetnya. Beberapa anak
lainnya langsung pergi menuju kantin sekolah.
Hand
phone Ahmad (Cody) berdering. Ahmad
bangkit dari kursinya.
“Cody,
kau mau ke kantin?” Tanya seorang anak berwajah oriental yang duduk
disampingnya.
“Emh,
oh, aku ada perlu sebentar. Aku pergi dulu.” Ucap Ahmad terburu-buru.
Ahmad
terus melangkah cepat. Melewati koridor yang berkelok. Dua kali berbelok ke
arah kiri, terlihat pintu kokoh yang menutupi sebuah ruangan. Ahmad memasuki
ruangan tersebut. Dia mengeluarkan sebuah sajadah yang disimpan di dalam lemari
di ruangan itu. Dengan cepat, dibentangkannya sajadah berwarna abu. Dia berdiri
di atasnya. Lalu dia melaksanakan shalat Dzuhur empat rakaat.
Tanpa
Ahmad sadari, seorang anak laki-laki memasuki ruangan tempat dia shalat. Anak
itu menyadari apa yang sedang Ahmad lakukan. Kemudian dia berlari mendatangi
teman-temannya.
“Ada
teroris di sekolah ini! Ayo ikut aku!” Seru anak itu pada teman-temannya.
Teman-temannya
terlihat kaget. Dia mengikuti anak yang menyerunya. Tepat saat Ahmad
memalingkan wajahnya ke kanan dan mengucap salam, mereka memasuki ruangan
tempatnya shalat.
“Lihat!
Dia teroris. Apa yang dilakukannya adalah ritual yang sering dilakukan oleh
teroris!” Seru anak itu kepada teman-temannya.
Salah
satu anak dari gerombolan itu langsung menyerang Ahmad yang berdiri kaget. Dia
memukul tepat di ulu hati Ahmad.
“Dasar
teroris!” Ucap anak yang memukul Ahmad.
Ahmad
hanya mengerang kesakitan. Dia memegangi bagian ulu hatinya. Nafasnya menjadi
sesak.
Beberapa
anak lainnya ikut menyerang. Mengeroyok Ahmad. Mereka memukul pipi, dagu,
pelipis, dada serta kakinya. Ahmad tak mampu melawan. Dia tersungkur. Lemas.
Matanya menjadi kabur. Mengerang dan bertakbir di dalam hati. Cahaya masuk.
Pintu terbuka. Seorang pria berbadan lebih besar di banding yang lainnya masuk
ke dalam ruangan. Kemudian semua menjadi gelap di mata Ahmad.
***
Hilman
duduk di meja kerjanya. Dia membuka map merah yang tadi diberikan bosnya. Dahinya
mengkerut saat dia membaca profil orang yang harus diwawancarainya. Beberapa
kali dia membolak-balik photo serta profil di map untuk meyakinkan diri. Dengan
ragu dia berdiri, meninggalkan meja kerjanya kemudian mengendarai motor
gedenya.
***
Hilman
mencium kesegaran lemon saat menghirup udara didalam rumah minimalis yang
dikunjunginya. Dia duduk di sebuah sofa panjang berwana biru. Di dinding ruang
tamu, ada beberapa photo keluarga imanuel. Photo seorang anak, wanita dan pria
dewasa (yang semuanya bule) terpasang di tembok ruangan paling depan. Namun,
bukan hal itu yang menyita perhatian Hilman. Ada sesuatu yang unik di ruangan
ini. Di satu sisi, dia melihat sebuah salib besar terpasang di dinding. Akan
tetapi, di sisi dinding lainnya, terpasang kaligrafi bertuliskan Huruf Arab
yang indah.
“Ayat
kursi.” Ucapnya setelah mengenali tulisan itu. “Dari awal aku memang merasa
aneh dengan orang yang akan aku wawancarai ini. Tapi aku tak pernah berfikir
bahwa di rumah ini akan terpasang simbol dua agama yang berbeda. Sebenarnya
siapa mereka?” Hilman mengerutkan dahinya, memandangi photo keluarga yang
digantung di dinding depan. Lalu menyeruput kopi yang telah disuguhkan oleh
tuan rumah.
Tak
lama, seorang anak berseragam SMP masuk. Dia tersenyum ramah kepada Hilman.
Muka bulenya terlihat merah karena terbakar matahari. Akan tetapi, matanya yang
cemerlang terlihat sangat menenangkan.
“Kakak
wartawan dari majalah relikui kehidupan?” tanya anak itu sambil duduk disamping
Hilman.
“Iya.
Kau Cody Imanuel kan? Bisakah wawancara kita mulai sekarang?” Hilman
memperbaiki posisi duduknya menghadap ke arah anak bule itu.
“Iya,
tapi sekarang aku lebih sering dipanggil Ahmad. Kakak muslim?”
Hilman
menganggukkan kepalanya.
“Ya. Saya
muslim.”
“Sekarang sudah
waktunya Shalat Ashar. Gimana kalau kita shalat dulu, setelah itu baru
wawancara.” Ajak Ahmad pada Hilman.
Hilman menjawab
dengan anggukkan. Ahmad mengantarnya menuju kamar mandi. Kemudian mereka berdua
memasuki sebuah ruangan bercat putih. Seperti sebuah kamar yang disulap menjadi
mushala kecil. Satu sajadah membentang ditengah ruangan tersebut. Sebuah lemari
pelastik berdiri disudut belakang. Wewangian menyejukkan, memenuhi udara di
dalam ruangan.
Ahmad mengambil
sebuah sajadah dari dalam lemari. Dia membentangkan sajadah tersebut dibelakang
sajadah lainnya. Lalu, dia berdiri di atasnya.
“Silahkan,
kakak yang jadi imam!” Seru Ahmad pada Hilman.
Mata Hilman
bergerak tak fokus arah. Senyuman terpaksa kembali tersungging di bibirnya. Dia
berusaha menutupi rasa malunya.
“Maaf Ahmad,
kakak lupa lagi dengan bacaan shalat. Sudah lama kakak tidak melaksanakannya.”
Ahmad tidak
menjawab. Muka sumringahnya terlihat mengkerut. Kecewa. Dia pindah, berdiri di
sajadah depan.
“Kalau begitu,
kakak mau shalat di belakang Ahmad?” Ahmad kembali tersenyum.
Dengan langkah
pelan, Hilman berjalan. Dia berdiri di atas sajadah di belakang Ahmad.
Ahmad
mengangkat kedua tangannya.
“Allahuakbar.”
Hilman
mengangkat kepalanya. Dadanya bergemuruh kencang. Tangan dan kakinya bergetar.
Matanya memandangi punggung Ahmad.
“Kenapa?”
ucapnya dalam hati. “Ada apa ini? Untuk pertama kalinya aku merasa tersentuh
ketika mendengar seseorang mengumandangkan takbir. Sudah ratusan kali aku
mendengar takbir, tapi baru kali ini ada sesuatu yang terasa aneh menusuk ke
dalam hatiku. Kenapa? Ada apa?.” Sepanjang shalat berlangsung, perasaan aneh
menyelubungi hatinya. Saat Ahmad mengucapkan salam, tanpa bisa dibendung lagi
ruas-ruas air keluar dari sudut mata Hilman. Hilman berusaha menyembunyikan
tangisnya. Dengan cepat dia mengusap wajahnya, berusaha menghapus air mata yang
kini sudah berhenti mengalir.
***
“Sudah
berapa lama kamu memeluk Islam?” Tanya Hilman pada anak berusia empat belas
tahun itu.
“Alhamdulillah
sudah dua tahun kak.” Jawab Ahmad antusias.
“Kau
baru berada di sini sekitar satu tahun, artinya kau memeluk Islam sebelum
berada di Indonesia?”
“Ya.
Aku memeluk Islam saat aku tinggal di Amerika.”
“Bukankah
kedua orang tuamu beragama katolik? Kenapa kau memutuskan memeluk Islam? Dan
kenapa kini kau pindah ke Indonesia?
Ahmad
tertawa pelan. Tawanya tidak keras. Tawa itu justru terdengar menenangkan.
“Iya.
Ayah dan ibuku seorang katolik. Begitupula beberapa keluargaku yang lain. Sejak
kecil aku belajar untuk menjadi pemeluk Katolik yang taat. Namun, orang tuaku
memberikan kebebasan agar aku memilih agama yang sesuai dengan keinginanku.
Berkat bantuan uncle yang telah terlebih dahulu menjadi mu’alaf, aku
memutuskan untuk memeluk Islam sebagai agamaku. Ternyata, semakin aku
mempelajari Islam, semakin menyenangkan. Mengenai kepindahanku ke Indonesia,
tidak lepas dari keinginan kedua orang tuaku agar aku dapat belajar dengan
tenang. Beberapa waktu setelah aku memeluk Islam, teman-temanku melihat aku
melaksanakan shalat. Mereka merasa tidak suka karena menyangka shalat adalah
ritual para teroris. Bahkan karena kesalahfahaman mereka, aku sempat mengalami
penyiksaan baik fisik maupun psikologis. Teman-teman berusaha agar aku tidak
shalat di sekolah. Namun, tidak semua teman-teman disana berlaku begitu. Ada
juga teman-teman yang menghargai agamaku.”
Beberapa
saat Hilman terdiam. Dia berhenti mencatat. Dia mengingat masa kecilnya.
Mencoba mengenang saat dia belajar shalat. Namun, yang ada difikirannya hanya
wajah sang ustadz. Dia benar-benar lupa dengan apa yang ustadznya ajarkan--selain
ayat kursi.
“Hmm...
Mendengar ceritamu tentang shalat, kakak jadi ingin bertanya, apa yang membuat
shalatmu terasa berbeda? Apa yang kau baca saat shalat? Apa yang ada di dalam
hatimu saat kau shalat? Jujur saja, tadi kakak merasa tersentuh, bahkan ketika
kau mengumandangkan takbir yang pertama.” Tanya Hilman.
Ahmad
termenung sesaat. Dia mengerutkan dahinya, mencoba mengartikan kata-kata Hilman
yang diucapkan dengan cepat.
“Saya
tidak tahu apa maksud kakak dengan berbeda. Mengenai bacaan shalat, aku rasa
sama saja dengan shalat orang Islam lainnya. Tapi ada satu hal yang selalu
bergelayut di hatiku saat shalat. Cinta dan Rindu kepada Allah yang sangat
besar. Itulah yang selama ini aku rasakan.” Ahmad berbicara sambil tersenyum.
Matanya melihat ke arah kaligrafi yang digantung di dinding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar